Chapter 2
Keputusan
Terlalu
banyak tidur malah membuat kepalaku serasa berputar-putar. Bahkan setelah kepalaku
kuguyur shower, masih terasa berat. Aku melangkah keluar dari kamar mandi sambil
menjinakkan rambutku yang basah dan kusut dengan handuk. Anehnya, mom sudah
berdiri menungguku. Biasanya, dia akan sudah ada di dapur sepagi ini untuk menyiapkan
sarapan kami. Aku hanya menatap penuh tanya wajah lembut itu.
“Kau
lupa ya sayang?” suara mom membuatku semakin bingung.
Bola
mataku berputar
“Aku
tidak mengerti, apa aku benar-benar melupakan sesuatu…ups..” aku sampai menutup
mulutku. Bagaimana mungkin aku melupakan hari ini. Hari di mana aku menjadi 17
tahun. Hari yang menuntutku untuk paling tidak mendapatkan kencan pertama.
“Ya..kurasa
aku terlalu lelap tidur mom”
“Bisa
kulihat itu sayang. Tapi sebagai ibumu aku tidak akan pernah lupa. Ada sesuatu
untukmu, ku harap tidak terlalu manis untuk ukuranmu sayang”
Aku
menatap kotak yang dijulurkan mom padaku. kotak itu terbuat dari sejenis kaca
transparan dan didalamnya bisa kulihat sesuatu berkilauan. Aku tidak bisa
menyembunyikan ketakjubanku ketika membuka kotak itu. Sebuah kalung perak yang
indah. Tapi bukan kalung itu yang benar-benar menarik perhatianku melainkan
leontin yang tersangkut di dalamnya. Leontin itu berbentuk bunga matahari
dengan ukuran yangcukup besar. Di sepanjang sisi mahkota bunganya dihiasi
kristal kecil yang berkilauan. Pada bagian tengah-tengah leontin tergeletak
batu menyerupai bagian sari bunga matahari. Batu itu berwarna jingga,
berkelap-kelip namun kemilaunya begitu tidak biasa, seperti ada cahaya yang
tersimpan dan meronta-ronta untuk keluar. Selebihnya, leontin itu mendatangkan
rasa hangat saat dipandang.
“Kau
menyukainya?”
“Oh
mom ini cantik, maksudku luar biasa. Aku tidak pernah melihat yang seperti ini.
Apa ini tidak berlebihan? Maksudku, apa kau menghabiskan banyak uang untuk ini
mom?”
“Sudahlah,
jangan konyol. Itu tidak semewah bayanganmu. Aku senang kau menyukainya”.
Kupeluk
tubuh hangat itu.
“Terimakasih mom”
“Terimakasih mom”
“I
love you honey”.
Dan
tanpa bertanya lagi, mom memasangkan kalung itu di leherku. Lalu menggiringku
kedepan cermin. Wajah mom menempel di wajahku.
“Lihat,
kau bagai seorang princess. Pakailah ke sekolah”
“Princess?
Aku rasa aku lebih ingin jadi warior”
“Warior
princess juga tidak buruk.”
Mom
mencubit daguku lalu menghambur keluar.
“Warior
princess” gumamku. Ya seandainya saja aku bisa jadi seperti Xena si warrior
princess dan membantai orang-orang yang selalu menertawakanku. Pikiranku
kembali tidak waras.
Di
depan gerbang cengir Lucie menyapaku.
“Ku
kira kau akan berangkat sendirian hari ini?”
“Tentu
saja aku sengaja menunggumu. Selamat ulang tahun ya”
Jemari
Lucie meletakkan sesuatu di telapak tanganku. Sebuah gelang tali yng digantungi
ukiran dua dolphin.
“Sebagai
simbol kalau kita sahabat sejati”
Ada
luapan emosi mengaliri tubuhku.
“Terimakasih,
kau memang yang terbaik” bisikku di pundak Lucie saat ku peluk tubuh mungilnya.
Saat kami sudah berdiri berjarak, mata birunya membelalak ke arah leherku.
“Wow
itu cantik sekali”
“Ini?”
aku mengangkat leontin matahariku.
“hanya
hadiah ulang tahun dari mom. Apa menurutmu terlalu mencolok?”
“Kau
ini selalu terlalu was-was. Ini terlihat keren tahu. Aku yakin teman-teman lain
juga akan sependapat denganku. Leontin itu seperti menyimpan misteri”
“Ya,
eksistensiku juga misteri besar”
“Itu
kau tahu”
“Sialan”
Gurauan
membuat kami hampir tidak sadar sudah berada di gerbang sekolah. Aku menarik
nafas dan berharap semua tidak terlalu buruk. Atau lebih tepatnya aku
menginginkan sebuah keajaiban. Keajaiban yang membuat Daisy dan ganknya terkena
amnesia mendadak sehingga mereka akan lupa kejadian kemarin. Bukannya SMU itu
seharusnya menyenangkan, walaupun bagi seorang kutu buku. Betapa aku
menginginkan hal itu, berjalan menerobos kerumunan siswa tanpa takut ada yang
akan dengan sengaja mengganjal kakiku.
“Sampai
ketemu di kelas Bahasa Inggris ya” Lucie menepuk pundakku dan bergegas
menyusuri lorong ke arah barat. Jika kami baru saja bersama-sama lalu kemudian
harus berpisah karena kelas yang berbeda, aku selalu merasa seperti baru saja
bersandar pada sesuatu seperti tiang atau pohon lalu tiba-tiba sandaranku
hilang, aku merasa benar-benar sendirian. Dan sekolah, kembali terasa seperti
penjara di mana aku sebagai narapidana yang patuh aturan dan terlalu baik untuk
penghuni lain, sehingga mereka akan sakit perut jika tidak mengerjaiku.
Aku
masih percaya bahwa paling tidak ada satu hari dalam hidup seseorang, akan jadi
hari yang tidak buruk. Bukankah sebagian besar orang mendapatkan hari yang baik
pada ulang tahunnya, aku berdoa semoga keberuntunganku akan terus berlanjut
sampai bel pulang berdering. Tapi tetap saja jantungku seperti akan melompat
keluar ketika sudah sampai di depan kelas sejarah. Debaran jantungku semakin
keras, ketika diriku mulai bertanya apakah aku ini mendapatkan kutukan sehingga
harus selalu bertemu dengan si pirang ini. Tangannya melingkar manja di pundak
Jimmy, dan ini membuat perutku semakin melilit. Apalagi mereka tanpa malu-malu
menduduki meja yang paling depan, menghalangi lorong yang harus kulewati.
“Permisi”
aku harap suaraku tidak bergetar ketika kata itu terlontar.
“Oh
tukang ngadu mau lewat” wajah cantik Daisy sengguh terlihat menjengkelkan.
“Kita
lihat, kalau aku tidak membiarkan mu
lewat, apa kau akan langsung mengadu lagi pada si kurus itu?”
Hati
ku menjerit, pikiranku berteriak menimpali perkataan Daisy. AKU BUKAN TUKANG
ADU! Tapi tentu saja mulutku terkunci dan kepalaku terasa semakin berat
sehingga wajahkupun tertunduk.
“Sudahlah
sayang, masih pagi” suara Jimmy benar-benar melegakan. Walaupun kemarin dialah
salah satu aktor penghancur hariku, ku harap hari ini Tuhan mengubahnya menjadi
malaikat penolong, menolongku dari iblis cantik ini.
“Tapi”
“Jangan
dekati parasit sepagi ini, biarkan dia lewat”
“Ya,
kau benar sayang, parasit itu gatal…ih..”
Parasit?!
Aku menyesal sekilas asa tadi sempat muncul. Jimmy sama jijiknya memandangku
seperti cewek bodohnya itu. Walaupun caranya sedikit membantu memperpendek
masalah, akhirnya aku mendapatkan kursiku.
Pelajaran
sejarah bagiku tidak pernah membosankan. Aku menyukai hal-hal yang berbau
klasik dan expedisi. Sehingga akupun tidak terkejut saat Mrs. Barner
mengumumkan nilai essay tertinggi.
“Kalian
sebaiknya banyak berbagi pikiran dengan Ms. Sadler. Essaynya benar-benar
sempurna”
Aku
merasakan pipiku memerah mendengar pujian itu.
“Terimakasih” Ucapku seraya mengambil paperku yang kini
dihiasai huruf A+ yang begitu besar.
“Tentu
saja mendapatkan nilai itu di kelas sejarah sangat gampang bagi Zara, dia kan
makhluk pra sejarah”
Nada
suara Daisy yang mengejek membuat seisi kelas gaduh penuh tawa. Dan aku serasa
semakin tenggelam dan susah bernapas. Namun ketika Ms. Barner mengangkat
sebelah tangannya, tawa menyakitkan itu mereda.
“Setidaknya,
sebagai manusia modern, dengan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi dan
dengan ditunjang oleh beragam media canggih seperti ipod dan internet, kau
seharusnya bisa mendapatkan nilai lebih rasional dari pada ini Ms. Hansklin”
Suara
Ms. Barner begitu tenang dan dingin. Dan kini tawa itu kembali tumpah ketika
semua mata menatap paper di tangan Ms. Barner yang bertuliskan huruf D+ atas nama Daisy Hansklin. Aku bisa merasakan
amarah yang mengaliri wajah Daisy, dengan kesal dia mengambil atau lebih
tepatnya setengah merebut paper itu dari tangan Ms. Barner. Perasaan tidak enak
menyergapku, aku harap tidak akan ada masalah setelah ini, karena aku sudah
benar-benar muak.
Ketika
bell berdering dan semua siswa berhambur ke luar, tiba-tiba Ms. Barner
memanggilku. Aneh sekali rasanya, ketika guru killer ini menatapku lekat-lekat,
aku merasa tidak nyaman walaupun tatapannya sama sekali tidak mengancam.
“Zara,
kau ini gadis yang hebat. Apa kau tahu itu? Atau jika kau memang lupa biar aku
mengingatkanmu. Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam keterpurukan. Semua
perlakuan yang kau terima ini sangat tidak beralasan. Ibu yakin jika kau bisa
menatap jauh ke dalam jiwamu, kaupun akan bisa menemukan siapa dirimu yang
sebenarnya”
Semua
perkataan Ms. Barner begitu menghentak jantungku. Aku hampir tidak percaya
ternyata Ms. Barner menaruh simpati pada apa yang selama ini kualami.
“Apa
kau paham maksudku?”
Pertanyaan
itu menyentakku lagi.
“Ya,
bu tentu saja. Terimakasih atas perhatian anda”
“Baiklah,
aku hanya ingin kau menyadari itu. Sekarang silahkan lanjutkan kelasmu”
“Ya
Bu, permisi”.
Pikiranku
masih bergelayut saat menyusuri koridor menuju kelas Geograpi. Perkataan Mrs.
Barner begitu meresapi hatiku. Aku tahu orang-orang terdekatku juga
mengharapkan aku bisa berjalan tegak. Tapi kenapa aku terlahir dengan semua
kepengecutan ini. Aku sadar cepat atau lambat aku harus berubah sebelum aku
terpuruk terlalu dalam. Aku jadi berpikir apa aku perlu terapi keberanian ya.
Konyol.
Berani.
Itu kata yang tepat sekali ku butuhkan sekarang, saat Daisy dan gerombolannya,
yang di mana kali ini Jimmy tidak tampak bersama mereka, sedang menungguku.
Bisa kulihat sinar matanya yang penuh kemarahan dan dengki yang teramat dalam.
Aku tahu ini adalah episode lanjutan kelas sejarah tadi. Dan akupun menyadari
sepenuhnya bahwa ini akan jadi lebih buruk daripada biasanya. Walaupun Daisy
tidak pintar tapi belum pernah dia dipermalukan seperti tadi. Aku berani
bertaruh ini akan benar-benar buruk, napasku mulai tidak beraturan.
“Dug!”
Aku terdorong beberapa langkah ke belakang. Tangan Daisy mendorong bahuku.
“Apa
kau merasa puas gadis pintar? Kau merasa menang!”
“Kenapa
kau marah padaku?” akhirnya aku bisa melakukan sedikit pembelaan.
“Jangan
pura-pura bodoh, kau makhluk pra sejarah menjijikan. Aku bersumpah hari-harimu
akan semakin menyiksa, sehingga kau akan berpikir untuk mengakhiri hidupmu yang
menyedihkan ini atau pindah ke dunia antah berantah!”
Tenggorokanku
tercekat dan kurasakan tubuhku bergetar. Amarah dan kepengecutan menyelimutiku.
Aku sungguh ingin frontal saja mengarahkan tinjuku ke wajah mulusnya yang
menyebalkan itu, tapi tentu saja itu hanya sebatas keinginan. Yang sanggup
kulakukan hanya diam dengan wajah tertunduk.
“Ha..Daisy
coba kau lihat, kalungnya!” Elena, salah seorang angggota gank itu tiba-tiba
saja menunjuk kalung berleontinku. Ini membuat perasaanku semakin tidak enak.
“Waw..kau
benar, ini imitasi yang sempurna. Emm sungguh tidak cocok untuk si putri kodok.
Kau kan tidak punya pangeran yang akan mampu mengubah wujudmu”.
Bisa
kulihat seringai dan kilat jahat di mata Daisy dari balik poniku. Dan firasatku
terbukti. Dengan begitu cepatnya tangan Daisy menyambar kalung itu dari
leherku.
“Apa
yang kau lakukan? Kembalikan kalungku!”
Daisy
memainkan kalung itu di tangannya, aku tahu sebenarnya dia menyukai leontin
matahari itu.
“Ah
mari kita lihat, apa imitasi ini bisa tahan terhadap gaya gravitasi!”
Aku
merasakan kedua tanganku tercengkram dari belakang. Genggaman Elena begitu
kuat, aku tidak bisa melepaskan diri. Jantungku berdegup kencang dan mataku
membelalak melihat apa yang sedang dilakukan Daisy.
“Jangan!”
aku memekik.
Senyum
Daisy semakin lebar. Dia menurunkan sebelah tangannya yang menggenggam kalung
itu lalu bersiap-siap mengangkatnya lagi untuk melempar kalung berleontin matahari
itu ke udara. Tentu saja, ini yang dimaksud Daisy sebagai uji gravitasi. Tapi
sesuatu yang tak disangka-sangka terjadi. Sesuatu yang terjadi begitu cepat.
Baru saja Daisy mengangkat lengannya, sesosok bayangan atau makhluk mencengkram
tangannya dan seketika itu juga kalung itu lenyap dari genggaman Daisy. Semua
berlangsung begitu cepat. Daisy memekik kesakitan. Suasana seketika berubah,
penuh ketegangan, kepanikan, dan ketidak mengertian atas apa yang barusan
terjadi. Cengkraman Elena meregang dan akupun langsung melepaskan diri. Mataku
tadi sempat menangkap ke arah mana sekelebat sosok itu menghilang. Adrenalinku
terpacu dan tanpa berpikir lagi, aku berlari kea rah utara menembus kerumunan
siswa yang juga memperhatikan kepanikan yang ada. Aku terengah-engah ketika
akhirnya kakiku mengantarku ke taman
belakang sekolah yang sepi. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan. Yang aku sadari
adalah aku hanya berlari dan akhirnya berhenti di sini, mengharap menemukan
jawaban atas apa yang kucari. Aku bisa
mendengar napasku yang tersengal-sengal selain itu hanya ada suara gemerisik
angin dari pepohonan. Aku mematung i dan mulai mempertanyakan tindakanku.
“Apa
kau mencari ini?” sebuah suara asing menyentakku. Aku berbalik dan keterkejutan
kembali menerpaku.
“Kau?”
seperti ada gumpalan besar dalam tenggorokanku ketika kata itu terucap.
“Ya,
ini aku. Aku ingatanmu bagus. Aku yakin takdir tidak salah telah memilihmu,
gadis matahari”
Ketenangan
dalam suara pemuda itu malah membuat darahku mengalir semakin kencang. Siapa
sebenarnya pemuda ini, maksudku siapa dan dari mana asalnya. Ya tentu saja aku
ingat. Dia tak lain adalah pemuda yang ku lihat malam itu, saat angin membuka
jendela kamarku. Pemuda asing yang tatapannya membuat bulu badanku merinding.
“Siapa
kau? Dan bagaimana leontin itu bisa ada padamu?”
“Pertanyaan
yang sungguh normal, tapi kuharap penjelasanku juga bisa terbilang normal itu
bangsamu”
Orang
ini apa memang benar-benar berasal dari negeri antah berantah, atau sejenis
alien, diksi yang digunakannya seolah menegaskan dia berbeda. Tapi dalam
kamusku, ku rasa lebih tepat menyebutnya orang aneh.
“Tapi
sebelum itu, lebih baik leontin ini ku kembalikan padamu” dia mendekat lalu
menggapai telapak tanganku, membukanya dan meletakkan kalung itu. Lalu dengan
lembut dikepalkannya lagi telapak tanganku sehingga kalung itu kini seutuhnya
berada dalam genggamanku. Aku hanya mematung, otakku kali ini susah sekali
berpikir dengan waras. Kulitnya terasa dingin.
“Terimakasih..em
kurasa aku bisa melupakan pertanyaanku. Ada kelas yang harus kuhadiri sekarang.
Siapapun kau, aku sangat berterima kasih” aku harap aku bisa menyembunyikan
kewas-wasanku dan terkesan benar-benar terburu-buru, walaupun aku tahu dia
tidak akan percaya.
“oh..kau
ternyata sama sekali belum mengenal takdirmu gadis matahari”
“Dengar,
ku rasa ada kesalahan di sini, mungkin kau mencari seseorang yang kau juluki
gadis mataharimu, tapi yang jelas itu bukan aku dan sekarang aku tidak mau
ketinggalan pelajaran”
Aku
mulai kesal dengan omongan tidak masuk akal pemuda ini. tapi baru saja
membalikkan tubuh, dia melontarkan pertanyaan yang memaksaku menghentikan
langkah.
“Apa
kau tidak ingin tahu makhluk apa yang merebut leontin itu dari tangan
pengganggumu itu, Z a r a?”
Tunggu!
Dari mana dia tahu namaku. Dan aku kesal karena dia benar tentang satu hal. Aku
benar-benar tidak bisa membendung rasa penasaranku tentang yang satu itu. Lalu akhirnya kuputuskan untuk menatap pemuda
asing itu sekali lagi.
“Em
aku tahu, kau pasti sangat ingin tahu. Makhluk yang membuat Daisy sampai
tercakar , ha ha aku tahu kau suka bagian yang itu, namanya Delox. dia adalah
budak sang penguasa kegelapan. Untungnya sihirnya tidak cukup kuat untuk
mengalahkanku di sini. Aku bisa merebut leontin itu kembali”
Aku
berusaha mencerna ucapan pemuda itu, tapi semua kerasionalanku menolak.
“Ku
rasa kau mengigau, aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan” jawab ku polos.
“Ya,
aku tahu bagi sebagian besar manusia sepertimu hal-hal seperti ini hanya
terjadi dalam dongeng. Padahal Zara, ada banyak kenyataan aneh yang begitu
lekat tapi tak pernah teraba. Untuk membuatmu sedikit yakin, aku ingin
mengingatkanmu tentang satu hal. Bukankah sewaktu kecil kau dan adikmu, sering
mendengar suara-suara aneh saat Lean
memaksa untuk bermain di kamarmu?”
Senyum
tipis terhias di wajah pemuda itu, dia yakin sekali, kali ini aku pasti
bergidik mendengar ucapannya, dan ku akui itu benar. Ku rasakan kedua alisku
bertaut ketika otakku berputar keras. Pemuda itu , bagaimana dia tahu masa
kecilku, bagaimana dia tahu nama adikku, bagaimana dia tahu begitu banyak hal tentang hidupku.
Ini mustahil. Tentu saja aku ingat, ketika masih kanak-kanak aku dan Lean memang
sering mendengar suara-suara aneh dari balik dinding kamarku yang berhadapan
langsung dengan halaman rumah kami. Dan jika kami mengadu pada Mom, dia selalu
berkata kalau suara-suara itu berasal dari rumah Mr. Jack, tetangga kami yang
suka mengurung diri dan enggan bergaul. Awalnya kami tidak percaya, tapi
seiring bertambahnya usia dan kerasionalan berpikir, kami mulai meyakini bahwa
itu hanya halusinasi. Seperti efek yang ditimbulkan terlalu banyak menonton film
atau membaca buku fiksi. Tubuhku
menegang dan kurasakan keningku mulai basah.
“Siapa
sebenarnya kau?” aku menelan ludah.
Pemuda
itu tersenyum, sebuah senyum kepuasan karena akhirnya aku menyerah.
“Namaku
Odish, aku adalah penunjuk jalan bagimu hai gadis matahari. Aku berasal dari
sebuah dunia yang sebenarnya parallel dengan duniamu, begitu dekat. Sebab
itulah anak-anak polos tanpa dosa masih bisa mendengar suara-suara kami, tapi
para orang tua terlalu takut untuk lebih mendengarkan anak-anak mereka. Dunia
itu bernama Worlenia. Itu adalah sebuah negeri yang indah dan damai sebelum
Xirlex, merebut semuanya.” Mata Odish, memicing dan sudut-sudut bibirnya
terangkat ketika menyebut nama aneh itu.
“Lalu apa
hubungan semua ini denganku?”
“Tentu
saja berhubungan. Sang putri menantimu, dia menanti leontin itu kembali” Alis
Odish terangkat dan dia menatap lekat leontin di tanganku.
“Tunggu,
apa maksudmu kalung berleontin ini adalah milik seorang Puteri dari duniamu?
Maaf jangan tersinggung, tapi aku ingin tertawa mendengarnya. Ini pemberian
ibuku sebagai hadiah ulang tahunku. Atau kau mau bilang ibuku mencuri leontin
sang puteri? Itu malah membuat tawaku akan benar-benar meledak”.
Odish
menghela napas.
“Sudah kuduga ini akan jadi begitu rumit. Tapi biar kuteruskan dulu ceritaku. Xirlex menculik sang puteri dan ingin menguasai segenap Worlenia. Penyihir jahat itu tahu Puteri Adara masih menjaga leontin matahari dan dia ingin mendapatkannya untuk membuat dirinya abadi dan benar-benar tak terkalahkan. Tapi sesuatu terjadi ketika Xirlex hendak merebut leontin itu. Sesuatu yang sudah diramalkan oleh para penyihir putih. Sebuah takdir menunggu seorang gadis lain sebagai penjaga kedua leontin matahari. Seketika itu juga, leontin itu lenyap dan akupun tidak sepenuhnya mengerti bagaimana cara leontin itu menemukanmu Zara”
“Sudah kuduga ini akan jadi begitu rumit. Tapi biar kuteruskan dulu ceritaku. Xirlex menculik sang puteri dan ingin menguasai segenap Worlenia. Penyihir jahat itu tahu Puteri Adara masih menjaga leontin matahari dan dia ingin mendapatkannya untuk membuat dirinya abadi dan benar-benar tak terkalahkan. Tapi sesuatu terjadi ketika Xirlex hendak merebut leontin itu. Sesuatu yang sudah diramalkan oleh para penyihir putih. Sebuah takdir menunggu seorang gadis lain sebagai penjaga kedua leontin matahari. Seketika itu juga, leontin itu lenyap dan akupun tidak sepenuhnya mengerti bagaimana cara leontin itu menemukanmu Zara”
Aku
tercengang mendengar semua penuturan Odish yang menurutku begitu imajinatif.
Aku mulai berpikir pemuda bernama Odish ini memang mengalami sedikit gangguan.
Bisa saja dia seorang psikopat, atau orang berkepribadian ganda yang
kadang-kadang merasa dirinya bagian dari dunia lain. Ih..ini membuatku
merinding, dan aku tahu cara terbaik adalah segera pergi. Tapi langsung berlari
juga akan membuatku terlihat sangat konyol, setidaknya aku ingin terlihat
sedikit tenang di mata orang asing.
“Dengar,
aku sangat berterima kasih karena kau telah dengan begitu baik hati
mengembalikan leontin ini padaku. bahkan ibuku pun akan berterimakasih untuk
itu. Tapi semua ceritamu sama sekali tidak sanggup dicerna akal sehatku. Jadi,
aku sebaiknya pergi” Aku berkata terus terang, dan langsung saja berbalik
pergi.
“Aku
harap Delox, tidak akan mengganggumu lagi, kau tahu tidak hanya kami yang
menunggumu, tapi Xirlex juga menginginkan kedatanganmu. Dan dia akan melakukan
apa saja, untuk membuatmu datang padanya. Takdir tetaplah takdir Zara, kau
tidak akan bisa lari”
Suara
Odsih, datar tapi menimbulkan gejolak aliran ketakutan di sekujur tubuhku. Tapi
aku menguatkan diri untuk tidak berbalik lagi. Aku mempercepat langkah
meninggalkannya, yang mematung melihat kepengecutanku.
Walaupun
hari itu merupakan hari teraneh dalam hidupku di mana aku sama sekali tidak
ingin mendapati hal serupa dengan itu lagi, aku bersyukur semua kekhawatiranku
tentang Odish dan peringatannya sama sekali tidak terbukti. Minggu berlalu dan
semua biasa-biasa saja, dan aku tentunya masih jadi bahan ejekan di sekolah
yang mulai memuakkan itu. Seandainya saja aku bisa pergi ke tempat lain,
bertemu dengan orang-orang asing, dan memiliki sebuah peran baru dalam hidupku,
aku akan sangat bersyukur. Aku ingin lari dari sekolah dan orang-orang yang
selalu membuat hari-hariku menyiksa. Tapi tentunya bukan tempat seperti yang
digambarkan Odish, itu sungguh berlebihan apalagi kalu aku harus sampai berdarah-darah
membela kebenaran dan menumpas kejahatan. Aku lega, akhirnya semua terbukti
hanya sebagai lelucon saja. Setidaknya itu yang kupikirkan sampai sesuatu yang
buruk benar-benar terjadi.
Aku
sedang meringkuk di atas sofa, tertidur setelah kelelahan membaca untuk bahan
essay bahasa Inggrisku. Tiba-tiba ada seseorang yang membunyikan bel pintu
dengan begitu tidak sabar. Setelah memencet bel berkali-kali, kini suara
pintupun terdengar di gedor sangat keras. Aku mengusap mata, dan menengok jam
dinding. “Ah siapa yang ingin mendobrak pintu pukul 2 dini hari” gerutuku. Tapi
Mom sudah bergegas memutar-mutar kunci pintu itu sebelum aku bisa berdiri
seimbang.
“Marie,
tolong aku, Lucie! Dia…” aku langsung menajamkan telinga dan memasang
kacamataku mendengar wanita yang ternyata adalah Mrs. Brown itu menyebut nama
anaknya dengan begitu panic. Ada kengerian yang sangat dalam ekspresi wajahnya,
kata-kata yang terlontar seperti tidak beraturan. Bahkan anak berusia lima
tahun saja akan mengerti sesuatu yang serius sedang terjadi. Aku segera
mendekati kedua wanita paruh baya itu.
“Ada apa
dengan Lucie?!” tanyaku panik
“Ceritakan
dengan tenang Angela” mom berusaha menenangkan sahabatnya itu.
Wajah
Mrs. Brown masih histeris, tapi kali ini dia mampu mengatasi isakan tangisnya.
“Kau
harus melihat Lucie, aku tidak mengerti ada apa dengannya. Tommy tidak di
rumah, aku sungguh bingung harus bagaimana. Maaf aku sudah berusaha untuk
menelponmu saja tapi …”
“Baiklah mari kita ke rumahmu”
Akupun
ikut bersama mereka.
“Kunci
pintunya Lean” Perintahku pada Lean, yang rupanya ikut menyaksikan percakapan
menegangkan kami. Dia hanya mengangguk dan wajahnya masih diselimuti kantuk.
Kami
bergegas menyusuri rumah dan langsung menuju kamar Lucie. Ruangan yang sangat
ku kenal, karena hampir tiap minggu aku menghabiskan waktu di kamar ini atau
Lucie lah yang bermalas-malasan di kamarku. Kamar bercat ungun yang biasanya
penuh kehangatan itu kini seolah memiliki aura yang berbeda. Kengerian yang
mencekam sangat terasa.
“Ya
Tuhan!” dengan spontan aku menutup mulutku dan merasakan keterkejutan yang
sangat melihat keadaan Lucie. Teman baikku itu terbaring dan kedua matanya
terpejam. Tapi suara rintihannya lemah namun sangat memilukan. Wajah dan
seluruh tubuhnya di penuhi bentol-bentol kemerahan.
“Demamnya
tinggi sekali, sejak kapan dia begini?” Mom meletakkan telapak tangannya di
kening Lucie.
“Kira-kira
setengah jam yang lalu. Semula tubuhnya hanya demam, lalu aku memberinya
aspirin tapi tiba-tiba bentol-bentol itu muncul begitu saja”
“Kita
harus segera membawanya ke rumah sakit, jangan menunggu lagi”
“Aku akan
menyiapkan mobil” Mrs. Brown pun segera bergegas. Beberapa menit kemudian, aku
dan mom sudah berhasil mengangkat tubuh Lucie yang terkulai tak berdaya dan
membawanya ke mobil.
“Biar aku
yang menyetir, sebaiknya kau bersama Lucie” Mom menawarkan diri.
Sepanjang
perjalanan itu kami hanya mendengar isak tangis Mrs. Brown dan gerutuan ketika
teleponnya lagi-lagi tidak diangkat.
Para
perawat dengan segera memindahkan Lucie ke ruang perawatan. Seorang dokter memeriksa
keadaan Lucie dengan cekatan. Dia kemudian berbicara pada seoarang wanita yang
rupanya adalah kepala perawat kemudian berbalik kea rah kami.
“Sebaiknya
tunggu di luar dulu, kami akan mengambil sample darahnya. Dibutuhkan hasil
laboratorium untuk memastikan penyakitnya” Tatapan dokter itu penuh kehangatan.
Di lihat dari usianya, ku rasa dia sudah berpengalaman mengatasi keadaan
seperti ini.
Aku
menyingkir dari pintu ketika beberapa perawat masuk dengan membawa jarum,
infus, dan beberapa alat medis. Dari jendela kaca itu, kulihat darah Lucie
mulai di ambil dan dua orang perawat lain memasang alat deteksi jantung serta
selang infus ke tubuh lemah itu. Yang membuat kami lebih panic, kini erangan
Lucie menjadi lebih keras terdengar, dan bisa kulihat air matanya mengalir dari
kelopak mata yang terpejam itu. Hatiku pilu seperti teriris harus menyaksikan
keadaan Lucie. Dia gadis yang begitu periang dan penuh energi, ini benar-benar
sebuah mimpi buruk. Ketika para perawat itu selesai dan meninggalkan kamar,
kepala perawat menghentikan langkah sejenak.
“Kalian boleh masuk, tapi harap tenang”
“Terimakasih”
ucap Mom.
Kami
bertiga hanya terpaku, mungkin hanya Mom yang masih bisa berpikir lebih
positif. Dia selalu tenang dalam menghadapi situasi apapun, sebuah talent yang
tidak bisa diwariskan pada anak-anaknya. Beberapa saat kemudian, kebekuan itu
pecah oleh langkah sang dokter. Di tangannya ada beberapa amplop, yang ku rasa
adalah hasil tes laboratorium tadi.
“Mrs.
Brown, sebaiknya kita bicara di luar” wajah tenang dokter itu masih belum bisa
menyembunyikan kekhawatiran yang tersembunyi rapi di balik sudut matanya.
“Sebaiknya
ku temani” timpal Mom dan dokter itupun mengiyakan. Hubunganku dengan keluarga
Lucie memang unik. Bukan kami saja yang bersahabat, tapi juga kedua orang tua
kami. Dan ini yang membuat mom sangat mengerti keadaan psikologis Mrs. Brown
yang cenderung labil. Dia bisa saja pingsan jika mendengar hal-hal yang tidak
diinginkan tentang anak semata wayangnya. Dan akhirnya hanya aku dan Lucie di
ruangan itu. Rasanya benar-benar aneh, kami belum pernah menghabiskan waktu
berdua seperti ini. tidak ada suara, hanya suara degup jantungku yang kian
kencang. Tanpa ku sadari, air mataku juga mulai menetes. Perasaanku kacau, dan
aku tahu ini berhubungan dengan hasil lab itu.
“Sudah ku
katakan, Xirlex akan berbuat apa saja!” Aku terperanjat dari kursiku. Mataku
membelalak tidak percaya akan apa yang kulihat.
“Bagimana
kau bisa ada di sini, e maksudku, bagaimana kau bisa muncul tiba-tiba?!”
Kurasakan aliran kepanikan dalam kata-kataku.
Dan
senyum menyebalkan itu kembali tersungging.
“Kita
dari dunia berbeda, dan kami memiliki beberapa keistimewaan dibanding kaummu. Beberapa
dari kami bisa menembus ruang dan waktu, ada di mana saja, dan kapan saja”
Seandainya
saja, aku tidak baru saja mendapati bukti ucapannya, aku tentu sudah berpikir
semua yang dikatakanya hanya lelucon konyol atau dongeng untuk anak kecil. Tapi
yang baru saja terjadi benar-benar membuat paradigmaku berubah. Apakah Odish,
memang berasal dari dunia lain.
Matanya
yang kekanakan kini tertuju pada Lucie. Sorot mata kekanakan itu kini berubah
dingin dan penuh dendam. Giginya juga gemertakan.
“Lihat
dia Zara, apa kau tega membiarkan ini berlanjut?”
“Apa
maksudmu, apa hubungan semua ini denganku?”
“Kenapa
otak pintarmu tidak bisa memahami maksudku, Xirlexlah yang sedang berusaha
menyakiti orang-orang terdekatmu. Dia menginginkan leontin itu, dia
menginginkanmu Zara”
Aku
hampir saja tidak bisa merasakan tubuhku sendiri mendengar ucapan Odish, takut,
panic, dan bermacam perasaan bercampur dalam diriku.
“Apa yang
harus kulakukan, bagaimana caraku menolong Lucie?!” Kurasakan mataku mulai
basah. Perasaan bersalahpun kini meyelimutiku. Aku tidak percaya Lucie begini
gara-gara aku. Kenapa bukan aku saja yang disakiti makhluk sialan bernama
Xirlex itu.
Odih
menatapku tajam, sebuah tatapan yang menembus masuk ke relung hatiku.
“Hanya
kau yang bisa menyelamatkannya, kau tahu apa yang harus kau lakukan”
“Ini?”
aku menggenggam leontin matahari di leherku, aku juga tidak mengerti, ide itu
muncul begitu saja.
Odish
menangguk “Lakukan dengan yakin, temukan siapa dirimu?”
Entah apa
yang terjadi padaku, tubuhku sekonyong-konyong bergerak mendekati ranjang
Lucie, seperti ada yang menuntun. Lalu kurapikan letak leontin di leherku agar
tepat menghadap tubuh Lucie yang masih terkulai lemah. Ku pejamkan mataku. Aku
sebenarnya bingung apa yang aku cari dan apa yang sedang kulakukan ini. Tapi
satu yang kutahu pasti, yaitu bahwa aku ingin menolong Lucie, bahwa aku ingin
dia sehat kembali, bahwa aku tidak ingin orang-orang yang kucinta menjadi
korban.
Tiba-tiba
kurasakan leherku menjadi hangat. Leontin itu mengeluarkan aura yang sepertinya
bukan hanya berasal dari leontin itu tapi juga dari dalam jiwaku. Aku merasakan
jiwaku dan leontin itu menyatu, dan sesautu menggerakkan instingku untuk
membuka mata. Aku seharusnya terkejut dengan apa yang sedang terjadi, tapi ketenangan dan perasaan
yakin kini merengkuhku, membuatku tidak bergeming. Leontin itu mengeluarkan
cahaya jingga lembut dan menerpa tubuh Lucie. Cahaya itu hangat dan mistik, dan
cahaya itupun seketika itu juga lenyap seiring dengan pulihnya kesadaran Lucie.
Aku hampir tidak percaya dengan yang kusaksikan. Lucie tersadar dan seluruh
bentol-bentol mengerikan itupun lenyap begitu saja dari tubuhnya.
“Apa yang
terjadi? Di mana aku?” Suara Lucie masih terdengar lemah.
Bukannya
segera menjawab aku malah menoleh mencari sosok Odish, aku ingin berterima
kasih atau sekedar memperlihatkan ekspresi ketakjubanku padanya. Tapi percuma,
si makhluk ajaib itu sudah menghilang.
“Dasar!”
dengusku.
“Apa?”
Lucie kebingungan.
“Oh maaf,
ku kira perawat itu masih di sini. Aku senang kau sudah siuman. Aku akan
memberitahu ibumu, dia pasti akan sangat lega”
Tentu
saja, Mrs. Brown dan mom begitu kegirangan akan keajaiban yang terjadi. Mrs.
Brown sampai-sampai tidak ingin melepaskan genggamannya dari tangan Lucie yang
masih lemah. Bahkan dokter pun hampir menjatuhkan hasil Lab yang dibawanya
ketika melihat perubahan mendadak yang dialami Lucie. Ekspresi wajah dokter itu
penuh ketakjuban dan penasaran yang menggebu-gebu.
“tidak
mungkin” bisiknya pada diri sendiri.
Setiba di
rumah, aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Pagi sudah hampr menjelang,
dan aku masih memaksa tubuhku untuk berbaring, berharap bisa menyapu
kegelisahan dan beban di kepalaku. Aku tahu aku harus segera mengambil
keputusan. Harus cuek dan berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa atau
sebaliknya, “memenuhi panggilan takdirku”. Yang kedua ini terdengar benar-benar
konyol. Tapi anggapan itu segera berganti dengan perasaan ngeri begitu tubuh
Lucie yang dipenuhi bentol-bentol melintasi anganku. Aku tidak mau ada korban
lagi. “Menyakiti orang-orang terdekatku” kalimat itu kini bagai terukir dalam
otakku, tidak mau lenyap. Aku takut mengartikan maksudnya, walaupun aku tahu
pasti itu berkaitan juga dengan keluargaku, Lean dan mom. Hanya mereka keluargaku
yang tersisa setelah kepergian dad. Dan aku sangat mengerti sekaranglah
giliranku menjaga mereka, paling tidak berusaha agar mereka tidak tersentuh
oleh hal buruk apapun. Jadi apa lagi pillihan yang kupunya. Aku terpaksa kali
ini harus benar-benar mengumpulkan segenap keberanianku yang ku tahu jumlahnya
tidak lebih dari cukup untukku mengambil keputusan ini. Aku harus pergi, atau
membiarkan keluargaku celaka. Sederhana.
Aku
berangkat sekolah dengan tidak membawa begitu banyak buku. Aku tidak yakin apa
Worlenia juga ada kutu buku sepertiku, dan ku rasa aku ke sana bukan untuk
membaca. Aku putuskan untuk memakai jeans dan T-shirtku seperti biasa. Walaupun
tadinya aku sempat bingung harus memakai kostum apa. Konsep dunia lain selalu
identik dengan kostum aneh seperti pakain berjuntai atau malah yang terbuat
dari baja. Tapi kurasa, bagian itu bukan tanggung jawabku. Aku hanya ingin
tampil seperti aku apa adanya. Yah siapa tahu saja, ketika melihat kedatanganku
makhluk-makhluk itu berpikir ulang. Mungkin aku akan lebih tampak seperti
“Alice” yang salah seperti di film “Alice in Wonderland”, kemudian mereka
mengirimku pulang.
Suasana
masih benar-benar pagi. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir di halaman
sekolah. Dan ini benar-benar mendukung. Aku bergegas menuju taman sekolah,
tempat pertama kali aku bicara dengan Odish. Aku ingin menemuinya. Kami perlu
sepakat tentang beberapa hal, sebelum aku memutuskan pergi.
Aku harap
tidak ada yang melihatku bertingkah konyol seperti ini. Berdiri kaku beberapa
meter di hadapan sebatang pohon oak tua. Seperti mengharapkan sesuatu akan
muncul dari pohon itu.
“Odish,
aku tahu kau mendengarku. Aku ingin bicara”
Sepi,
tidak ada tanda-tanda dia akan muncul.
Aku menarik
nafas.
“Ayolah,
waktuku tidak banyak. Kalau para murid lain sudah beradatangan, aku akan pergi.
Kau kan tahu aku sudah cukup aneh bagi mereka”
Tetap
tidak ada perubahan. Aku mendengus kesal.
“Ya
sudah, aku pergi dan jangan pernah berharap aku mau menemuimu lagi”
Dan
ajaib. Sosok kurus itu kini hadir begitu saja di hadapanku.
“Jangan
ngambek begitu, aku tadi hanya ingin tahu sampai mana keseriusanmu. Dan
sertinya tidak terlalu buruk. “ Sikap dan cara bicaranya yang santai sungguh
menyebalkan.
“Kau tahu
aku tidak punya pilihan”
“Ya,
artinya kau harus ikut denganku” dia terdengar senang dan menang
“Tapi,
aku masih ada beberapa masalah”
Kini
kedua alisnya bertaut dan matanya penasaran.
“Masalah?”
“Tidakkan
seharusnya bagian takdir ini juga mempertimbangkan bagaimana jadinya kalau aku
benar-benar pergi ke Worlenia. Maksudku, bisakah kau bayangkan kepanikan ibu
dan adikku kalau aku menghilang begitu saja? Pasti mereka kebingungan dan
namaku langsung ada di daftar nama orang hilang di kota ini” celotehku.
“Wow, aku
tidak meyangka kau mengkhawatirkan itu”
“Tentu
saja, manusia tidak ada yang bisa hilang dan muncul seenaknya sepertimu!”
timpalku ketus.
“Ya
baiklah, biar kujelaskan. Kau tidak perlu khawatir. Dunia kita memiliki
perhitungan waktu yang berbeda sekali. Satu hari di duniamu bisa bagaikan 100
hari di duniaku”
“Kedengarannya
cukup melegakan, tapi jika misi penyelamatan sang puteri ini memakan waktu
berabad-abad bagaimana? Fotoku bisa tersebar di seluruh kota” Protesku.
“Ku akui
kau memang banyak perhitungan. Semua sudah diatur. Sihirku akan membuatmu
benar-benar menghilang dari ingatan semua orang yang mengenalmu. Jadi tidak aka
ada yang mencarimu” Jawab Odish santai.
“Maksudmu
aku akan benar-benar dilupakan? Wow itu kejam sekali”
“Apa kau
punya ide yang lebih baik? Sifatnya hanya sementara, saat kau kembali. Semua
akan normal lagi, mereka akan bersikap biasa-biasa saja. Ini juga kan supaya
kau lebih focus pada misi ini. percayalah” Sekarang dia terdengar benar-benar
tua dan bijak. Aku tahu aku tidak punya pilihan.
“Baiklah,
ku rasa kedengarannya tidak buruk”
“Kalau
begitu tunggu apalagi, mari kita pergi sekarang” Odish mengulurkan jemarinya
yang panjang dan putih ke arahku. Sedikit lagi jemariku juga menggapainya, tapi
kutarik kembali.
“Tunggu,
masih ada satu hal!”
“Apa lagi
sih?!” tanyanya kesal.
“Apa kau
bisa menjamin Xirlex tidak akan menyakiti keluargaku saat aku pergi nanti.
Tolong beri aku alasan yang kuat!” tuntutku.
Odish
menarik nafas.
“Ya, dia
tidak akan menyakiti mereka. Xirlex hanya tertarik pada leontin itu. Dan kau
tahu, sebenarnya keberadaan leontin itulah juga yang membuat kaum kami bisa
menggunakan sihir di duniamu ini. Sebelumnya, kami tidak pernah berani menembus
batas karena kami tahu kami akan menjadi lemah. Dengan adanya leontin itu di duniamu,
barulah kami memiliki kekuatan untuk sampai sejauh ini”
“Jadi
maksudmu, dia tidak akan bisa menyakiti siapapun selama aku membawa leontin ini
pergi bersamaku? Lalu sihirmu untuk menghapusku dari ingatan bagaimana bisa?”
Sekali
lagi Odish mendengus kesal.
“Lama-lama
aku jadi heran kenapa takdir memilih gadis cerewet sepertimu. Sihirku tidak
akan hilang walaupun kau bawa leontin itu dari duniamu. Ingat aku kan
ditakdirkan untuk jadi penunjuk jalan bagimu. Jadi bisa dibilang kita tidak
akan berpisah sampai misi ini selesai. Berada di dekatmu akan membuat sihirku
tetap bekerja. Lagi pula ikatan batin yang kalian miliki juga akan membantu.
Semakin mereka mengingatmu, semakin kuat mereka juga akan melupakanmu”
“oh..”
Odish
menggeleng tidak sabar. Lalu dia dengan cepatnya mencengkram pergelangan
tanganku.
“Jangan
bicara, pejamkan matamu!” Perintahnya.
Dan aku
pun memejamkan mata. Sekali lagi aku merasakan kehangatan yang sama seperti
saat di rumah sakit. Tapi kali ini kehangatan itu menerpa wajah dan seluruh
tubuhku.
“Sekarang
buka matamu”
Aku
tercengang. Dalam hitungan detik ternyata Odish sudah membawaku ke apa yang
disebutnya dunianya, Worlenia. Benar-benar tempat yang asing. Aku berdiri
menghadap hamparan ilalang yang sangat luas. Angin membuat tetumbuhan itu
bergoyang penuh misteri. Dan ketika ku menengadah langit, perasaan ngeri
menghampiriku. Aku belum pernah melihat langit sekelam itu. Awan-awan hitam dan
besar tergantung bergulung-gulung, seakan akan ada badai besar. Tapi bukan itu
saja yang membuatnya terkesan kelam. Ada satu titik di langit itu, yang
meskipun terhimpit awan-awan tebal, masih dapat kulihat dengan jelas. Cahaya
yang tertutup lingkaran gelap.
“Gerhana?”
tanyaku
“Ya, dan
akan selalu begitu. Gerhana mathari total itu tidak akan hilang sampai sumber
dari semua gelapan ini hancur. Karena itulah kami menunggumu, gadis matahari.
Kau yang akan menyingkirkan gerhana itu”
Untuk
pertama kali dalam hidup, harus kuakui baru kali ini aku merasa sangat penting.
Di duniaku, kehadiranku seperti di tolak mentah-mentah, tapi di dunia antah
berantah ini, malah aku sangat dinantikan. Menyadari itu, seketika ku rasakan
seperti ada beban sepuluh ton menimpa pundakku. Apakah mereka tidak salah
memilihku? Bagaimana kalau aku nanti sangat mengecewakan, dan kemungkinan untuk
itu pastinya sangat besar. Aku belum pernah menggenggam pedang. Tapi aku
berharap, aku tidak lagi akan jadi pecundang, tidak di dunia asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar