Tulisan
ini memang berkisah tentang seorang puteri, tapi bukan dongeng melainkan sebuah
kisah nyata teramat tragis seorang puteri kecil dari Sekotong, nama salah satu
wilayah di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Rabu, 11 April 2012, pukul 7.30 WITA
saya sudah berada di RSU Mataram dengan kecemasan yang menggunung. Hari itu
anak lelaki saya akan menjalani operasi ODC. Tapi sekali lagi, ini bukan kisah
tentang saya, tapi gadis kecil dari Sekotong, hanya saja memang keduanya
berhubungan sebab dari sinilah saya mengetahui kisah ini. Matahari kian menyingsing,
saya ditemani suami, dan ibu berdiri di sepanjang koridor menuju ruang operasi
bersamaan dengan puluhan keluarga lain yang memang berada di sana untuk alasan
yang sama. Masih sepagi itu pasien yang akan dioperasi sudah berdatangan.
Serombongan anak-anak dari usia remaja sampai yang masih balita berpakaian
serba putih berjalan dan sebagian digendong oleh orang tuanya menuju pintu
ruang operasi. Hati saya miris melihat mereka, masih begitu belia tapi harus
berhadapan dengan masalah kesehatan. Lalu ada lagi yang menarik perhatian saya,
seorang pasien lainpun menyusul. Kali ini seorang gadis belia tapi dia rupanya
sudah tidak mampu berjalan bahkan duduk, hanya terkulai lemah di ranjang beroda
yang didorong petugas medis. Keluarga si bocah perempuan inipun lebih banyak
jika dibandingkan keluarga pasien lain. Tidak ada ketakutan yang terpendar di
mata si anak perempuan itu, melainkan keikhlasan dan kepasrahan. Saya jadi
bertanya-tanya apa yang terjadi padanya. Penyakit kronis kah? Atau kecelakaan?
Ibu saya juga penasaran terlebih
melihat sikap para anggota keluarga si anak perempuan yang berpenampilan khas
orang lombok pedesaan begitu panik dan belum-belum sudah menangis tersedu-sedu.
Saya menangkap hal yang berkebalikan di mata mereka; tidak ada sama sekali
keikhlasan, semua seperti berkata kenapa semua harus begini. Akhirnya salah
satu anggota kelurga si anak perempuanpun menceritakan apa yang terjadi pada si
anak malang itu, tentunya setelah ditanya ibu saya yang memang mahir
menginvestigasi (he..he).
Ternyata si anak peremuan itu, sebut
saja Minah tersengat listrik dengan daya yang luar biasa kuat. Kejadiannya
bermula ketika Minah pergi sholat magrib ke mesjid di kampung halamannya di
Sekotong. Mesjid itu masih dalam proses pembangunan. Selesai sholat, selayaknya
anak-anak lain pada normalnya, Minah bermain-main dulu di mesjid. Sayangnya
petugas mesjid ataupun yang bertanggung jawab mengelola pengerjaan bangunan
tidak memasang peringatan untuk tidak menaiki lantai dua yang masih dalam proses pengerjaan. Minah yang tidak
tahu apa yang menunggunya, naik ke lantai itu. Ketika sedang bermain dengan
memegang tiang besi bangunan, tiba-tiba saja tubuhnya tersengat listrik. Begitu
dasyatnya sengatan itu membuat tubuh mungilnya terbakar seketika dan langsung
ambruk pingsan.
Sudah satu bulan Minah menghabiskan
waktunya dalam perawatan RSU Mataram. Pada dua minggu pertama setiap detik
siang-malam dia meraung kepanasan akibat luka bakarnya. Setelah rasa panas itu
hilang dan Minahpun bisa memejamkan
matanya, hal yang jauh lebih buruk terjadi. Daging di sepanjang jemari
dan kedua lengannya mulai membusuk bahkan rontok. Akhirnya keputusan
terberatpun harus diambil untu menyelamatkan bagian lengan dari siku ke
bahunya. Kedua tangan Minah harus diamputasi. Awalnya Minah menolak, tapi
rupanya gadis kecil itu mulai menyadari keadaan dirinya sehingga diapun meminta
agar operasi segera dilakukan.
Karena ini Indonesia, dampak dari
amputasi inipun sudah terbaca. Sekarang Minah sedang duduk di bangku kelas 6
SD. Ujian Sekolah sudah terlewatkan olehnya, dan UAN pun sepertinya akan
begitu. Lalu akankah mimpinya juga ikut teramputasi? Tidak adakah jalan agar
Minah tetap mampu menggapai cita-cintanya. Terlahir cacat itu sulit, tapi
menjadi cacat setelah sebelumnya memiliki tubuh yang sempurna jauh lebih sulit
lagi, dikarenakan faktor psikis dan adaptasi dengan segala keterbatasan.
Terlebih Minah berada di lingkungan yang masih terbelakang. Terbayang oleh saya Minah bisa saja menggunakan
tangan palsu robotik yang disambungkan ke lengannya yang terputus, dan
tangan robotik itupun bisa digunakan
selayaknya tangan asli. Itu semua mungkin saja, karena di negara majupun hal
seperti itu bukan hal aneh. Tapi kembali saya menelan ludah, ini Indonesia,
negara yang untuk orang normalpun masih diperkaya dengan ketidak adilan dalam
segala hal. Ini Indonesia, negara yang tidak memperhatikan ruang untuk warga
negaranya yang memiliki kekurangan fisik. Lihat saja prasarananya, bahkan yang
berada di kota-kota besar. Tidak ada sisi jalan khusus untuk kursi roda,
gedung-gedungnya pun tidak dilengkapi dengan fasilitas yang bisa dipakai oleh
saudara-saudara kita yang kurang beruntung ini. Bagi saya, negara ini seperti
tidak mensuport mereka, bukannya memberdayakan malah memandang sebeleh mata.
Seperti kasus Minah, siapa yang akan bertanggung jawab. Memang jamkesmas
menjadi jurus andalan yang dianggap layaknya malaikat penolong, tapi soal
kualitas pelayanan, saya rasa sudah rahasia publik.
Untuk ke depannya, siapa yang akan
merangkul Minah? Seharusnya bentuk tanggung jawab tidak hanya sebatas
kesehatannya saja. Bukan mustahil Minah sebagaimana penyandang cacat yang lain
memiliki potensi besar untuk menjayakan negara yang layu ini. Seharunya ada pendampingan
agar Minah tidak putus asa dan tahu jalannya harus menggapai cita-cita-seharusya
Indonesiaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar