Kamis, 12 April 2012

Puteri Sekotong; Mimpi Yang Teramputasi


Tulisan ini memang berkisah tentang seorang puteri, tapi bukan dongeng melainkan sebuah kisah nyata teramat tragis seorang puteri kecil dari Sekotong, nama salah satu wilayah di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
            Rabu, 11 April 2012, pukul 7.30 WITA saya sudah berada di RSU Mataram dengan kecemasan yang menggunung. Hari itu anak lelaki saya akan menjalani operasi ODC. Tapi sekali lagi, ini bukan kisah tentang saya, tapi gadis kecil dari Sekotong, hanya saja memang keduanya berhubungan sebab dari sinilah saya mengetahui kisah ini. Matahari kian menyingsing, saya ditemani suami, dan ibu berdiri di sepanjang koridor menuju ruang operasi bersamaan dengan puluhan keluarga lain yang memang berada di sana untuk alasan yang sama. Masih sepagi itu pasien yang akan dioperasi sudah berdatangan. Serombongan anak-anak dari usia remaja sampai yang masih balita berpakaian serba putih berjalan dan sebagian digendong oleh orang tuanya menuju pintu ruang operasi. Hati saya miris melihat mereka, masih begitu belia tapi harus berhadapan dengan masalah kesehatan. Lalu ada lagi yang menarik perhatian saya, seorang pasien lainpun menyusul. Kali ini seorang gadis belia tapi dia rupanya sudah tidak mampu berjalan bahkan duduk, hanya terkulai lemah di ranjang beroda yang didorong petugas medis. Keluarga si bocah perempuan inipun lebih banyak jika dibandingkan keluarga pasien lain. Tidak ada ketakutan yang terpendar di mata si anak perempuan itu, melainkan keikhlasan dan kepasrahan. Saya jadi bertanya-tanya apa yang terjadi padanya. Penyakit kronis kah? Atau kecelakaan?
            Ibu saya juga penasaran terlebih melihat sikap para anggota keluarga si anak perempuan yang berpenampilan khas orang lombok pedesaan begitu panik dan belum-belum sudah menangis tersedu-sedu. Saya menangkap hal yang berkebalikan di mata mereka; tidak ada sama sekali keikhlasan, semua seperti berkata kenapa semua harus begini. Akhirnya salah satu anggota kelurga si anak perempuanpun menceritakan apa yang terjadi pada si anak malang itu, tentunya setelah ditanya ibu saya yang memang mahir menginvestigasi (he..he).
            Ternyata si anak peremuan itu, sebut saja Minah tersengat listrik dengan daya yang luar biasa kuat. Kejadiannya bermula ketika Minah pergi sholat magrib ke mesjid di kampung halamannya di Sekotong. Mesjid itu masih dalam proses pembangunan. Selesai sholat, selayaknya anak-anak lain pada normalnya, Minah bermain-main dulu di mesjid. Sayangnya petugas mesjid ataupun yang bertanggung jawab mengelola pengerjaan bangunan tidak memasang peringatan untuk tidak menaiki lantai dua yang masih  dalam proses pengerjaan. Minah yang tidak tahu apa yang menunggunya, naik ke lantai itu. Ketika sedang bermain dengan memegang tiang besi bangunan, tiba-tiba saja tubuhnya tersengat listrik. Begitu dasyatnya sengatan itu membuat tubuh mungilnya terbakar seketika dan langsung ambruk pingsan.
            Sudah satu bulan Minah menghabiskan waktunya dalam perawatan RSU Mataram. Pada dua minggu pertama setiap detik siang-malam dia meraung kepanasan akibat luka bakarnya. Setelah rasa panas itu hilang dan Minahpun bisa memejamkan  matanya, hal yang jauh lebih buruk terjadi. Daging di sepanjang jemari dan kedua lengannya mulai membusuk bahkan rontok. Akhirnya keputusan terberatpun harus diambil untu menyelamatkan bagian lengan dari siku ke bahunya. Kedua tangan Minah harus diamputasi. Awalnya Minah menolak, tapi rupanya gadis kecil itu mulai menyadari keadaan dirinya sehingga diapun meminta agar operasi segera dilakukan.
            Karena ini Indonesia, dampak dari amputasi inipun sudah terbaca. Sekarang Minah sedang duduk di bangku kelas 6 SD. Ujian Sekolah sudah terlewatkan olehnya, dan UAN pun sepertinya akan begitu. Lalu akankah mimpinya juga ikut teramputasi? Tidak adakah jalan agar Minah tetap mampu menggapai cita-cintanya. Terlahir cacat itu sulit, tapi menjadi cacat setelah sebelumnya memiliki tubuh yang sempurna jauh lebih sulit lagi, dikarenakan faktor psikis dan adaptasi dengan segala keterbatasan. Terlebih Minah berada di lingkungan yang masih terbelakang.  Terbayang oleh saya Minah bisa saja menggunakan tangan palsu robotik yang disambungkan ke lengannya yang terputus, dan tangan  robotik itupun bisa digunakan selayaknya tangan asli. Itu semua mungkin saja, karena di negara majupun hal seperti itu bukan hal aneh. Tapi kembali saya menelan ludah, ini Indonesia, negara yang untuk orang normalpun masih diperkaya dengan ketidak adilan dalam segala hal. Ini Indonesia, negara yang tidak memperhatikan ruang untuk warga negaranya yang memiliki kekurangan fisik. Lihat saja prasarananya, bahkan yang berada di kota-kota besar. Tidak ada sisi jalan khusus untuk kursi roda, gedung-gedungnya pun tidak dilengkapi dengan fasilitas yang bisa dipakai oleh saudara-saudara kita yang kurang beruntung ini. Bagi saya, negara ini seperti tidak mensuport mereka, bukannya memberdayakan malah memandang sebeleh mata. Seperti kasus Minah, siapa yang akan bertanggung jawab. Memang jamkesmas menjadi jurus andalan yang dianggap layaknya malaikat penolong, tapi soal kualitas pelayanan, saya rasa sudah rahasia publik.
            Untuk ke depannya, siapa yang akan merangkul Minah? Seharusnya bentuk tanggung jawab tidak hanya sebatas kesehatannya saja. Bukan mustahil Minah sebagaimana penyandang cacat yang lain memiliki potensi besar untuk menjayakan negara yang layu ini. Seharunya ada pendampingan agar Minah tidak putus asa dan tahu jalannya harus menggapai cita-cita-seharusya Indonesiaku.