Senin, 27 Februari 2012

Cerdasnya Ustd. Yusuf Mansyur

Dunia tauziah  tanah air terus mengalami perkembangan khususnya setelah era reformasi dan ini tentu saja dikarenakan bebasnya setiap warga negara dalam mengutarakan aspirasinya, salah satunya melalui wadah berbagi ilmu dalam tauziah. Efeknya, bermunculanlah para ustad yang mampu memikat hati para muslimin dan muslimat sehingga merekanpun tampil sebagai wajah baru publik figur  pertelevisian Indonesia. Bukan hanya kharisma yang membuat para  ustad itu begitu diminati, tapi juga ciri khas dalam penyampaian materi hingga tak jarang, wajah tampan merekapun bisa dikatakan sebagai salah satu magnet penarik jamaah. 
Salah satu sosok yang dikenal sangat bersahaja dan memiliki ribuan jamaah adalah Ustd. Yusuf Mansyur. Ya, siapa yang tidak mengenal ustd kita yang satu ini. Jika Ustd.  kocak  Maulana memakai yel-yel "Jamaah...oh jamaah....Alhamdu....lillah", dan si cakep Ustd. Solmed berciri khas  yel-yel "Kata siapa? ustd Solmed!", Ustd. Yusuf mansyur tidak memakai hal semacam itu. Tidak ada yel-yel, tidak ada bintang tamu artis, beliau hanya tampil apa adanya. Perbedaan mendasar kedua antara ustd. Yusuf Mansyur dengan penceramah yang lain tampak jelas pada cara penyampaian materi. Para penceramah lain khususnya yang masih muda, cenderung seperti script based material delivery or bahasa gampangnya seperti menghafal materi dari sumber tertulis. Memang kontennya menjadi terorganisir, si penceramah seperti tahu kapan harus mengatakan key words, ataupun bercanda sehingga dengan cepat dapat menarik perhatian audience. Akan tetapi, jika diperhatikan flownya menjadi tidak natural. Nah, di sinilah keunggulan ustd. Yusuf, teknik penyampaian materi ustd. ini begitu berbeda. Dalam berceramah ustd. yang satu ini tidak mengandalkan inflection (baca: turun naiknya nada), melainkan seakan berbicara face to face secara personal dengan audience. Cara bicaranya juga terasa begitu natural, langsung dari hati dan pikiran, benar-benar tidak ada kesan menghafal sama sekali. Memang di awal -awal mendengar ceramah beliau sepertinya tidak begitu menarik karena gaya bicaranya yang "terlalu biasa" untuk ukuran penceramah tapi ketika masuk ke dalam pendalaman materi, Subhanallah, pemahaman mateinya benar-benar mendalam.  Kata "terlalu biasa" inilah yang juga membuat nama ustd. Yusuf tidak langsung mencuat ke permukaan selayaknya ustd. Maulana dan ustd. Solmed, perlahan namun pasti ustd. ini mendapatkan tempat spesial di hati jamaah.
Menilik judul artikel ini ; Cerdasnya ustd. Yusuf Manyur, anda pasti bertanya-tanya apakah hanya karena hal-hal tersebut di atas saja ustd. ini saya katakan begitu cerdas, jawabannya jelas bukan. Fokus materilah yang membuat saya berpendapat demikian. ustd. Yusuf tampil dengan menyentil hal yang begitu lekat dengan kehidupan manusia; ekonomi.
Logiknya jelas, apa lagi faktor utama yang membuat orang melupakan Tuhan selain rutinitas. Harus mengejar deadline tugas sampai lupa makan siang apalagi shalat, memimpin rapatpun tidak pernah menoleh jam ketika azan sudah lama berkumandang. Lalu setelah materi didapat, lupa kalau banyak saudara-saudara kita yang harus mengganjal perut. "Kalau mau duit, ya kerja, hasilnya duit gua  hak gua lah" itulah yang terjadi saat ini. Akibatnya kesenjangan sosial semakin menanjak, akhir-akhir ini saja sudah berapa kasus bunuh diri yang terjadi, terakhir seorang ibu di Bandung nekad bunuh diri setelah terlebih dahulu membunuh anaknya yang masih berusia 4 tahun. Faktor utama yang disinyalir adalah salah satunya, ekonomi. Kesulitan hidup ditambah ketidakpedulian masyarakatlah yang mendukung peristiwa-peristiwa sejenis terjadi.
Ustd. Yusuf cerdas membaca peran ekonomi dalam masyarakat dan hubungannya dengan Sang Pencipta. Setiap ceramah beliau berisikan motivasi untuk tidak berputus asa dalam mencari rezeki yang halal. Sebagaimanapun banyaknya hutang, sulitnya hidup, pekerjaan yang hilang,  jika Allah sudi dan pasti senang membantu jika si hamba memang meminta dan rela meminjamkan sesedikit apapun harta yang dimiliki, walaupun hanya recehan, Allah pasti mengganti. "Bukan pekerjaan yang memberi kita rezeki, tapi Allah" itulah ungkapan yang sering kita dengar dalam ceramah ustd ini. Bahkan dalam bukunya the Miracle of Giving, ustd. Yusuf berani merumuskan matematika sedekah 10-1 bukan 9 tapi 10-1=19, karena seperti janjiNya Allah akan mengganti 10 kali lipat. 
Lalu apa hubungannya pengajian ustd. Yusuf dengan kehidupan sosial masyarakat? saya rasa benang merahnya sudah jelas. Di zaman yang serba sulit ini, egoisme individu kian menjadi-jadi. Imbasnya kepedulian sosial semakin menipis. Dalam tauziahnya ustd. Yusuf bertanya pada hati nurani jamaah, apakah dalam kesempitan sekalipun kita masih percaya dengan kemahakuasaan Allah dan masih rela berbagi?. Dalam hal ini, ustd. Yusuf kerap menginspirasi audience dengan kisah-kisah nyata yang seakan tidak mungkin bisa terjadi seputar pertolongan Allah sebagai hikmah dari sedekah.
Kesimpulannya, ustd. Yusuf  selalu konsisten dalam setiap tauziahnya. Pengembangan materi yang dilakukanpun tidak lepas dari ide sentral seputar "ekonomi". Sedekah, Tahajjud, Dhuha, Al-Waqiah, Shalawat, semuanya adalah topik yang sering diulas dalam penampilannya dan semua itu jelas mengusung satu ide sentral; ekonomi. Ustd. Yusuf seperti mendoktrin umat untuk terus berusaha melakukan yang terbaik dan menjadikan Allah sebagai penolong utama dan judikator yang memberikan hasil sekaligus berusaha meningkatkan kepedulian sosial agar gap antara si miskin dan si kaya bisa lebih kecil disebabkan tumbuhnya cinta dalam berbagi. Hasilnya, bukankah kisah-kisah ajaib tentang ide berbagi itu terus bermunculan? Bahkan mungkin anda pernah mengalaminya. Artinya, sudah banyak orang yang tergapai hatinya melalui sentuhan ceramah beliau. Jika kita diberikan hal yang kita benar-benar butuhkan, telinga ini pasti terpasang dan hati inipun pasti merekam. Begitulah ustd. Yusuf, cerdas dalam melihat kebutuhan mendasar individu.

Minggu, 26 Februari 2012

Sinetron Indonesia; Romantisme dan hedonisme

Apakah anda tahu sinetron? Ha, jangan tersinggung apa lagi sampai melempar  laptop (lebay hai-hai). Saya sadar kok pertanyaan saya yang bermasalah, bukan tempramen anda, jadi saya ganti; Apakah anda suka nonton sinetron?. Kalau di wajah anda langsung terlintas wajah tegas Dude Herlino dan si manis Naysilla Mirdad, plus channel-channel yang jadi gudang penampungan sinetron, mungkin saja anda termasuk salah satu penggemar sinetron. Tapi kalau anda seperti saya, tidak pernah melirik jam menanti jam tayang sinetron kesayangan, lebih jelas lagi anda dan saya bukan penggemar sinetron.
Eitssss! jangan salah sangka dulu. Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menjudge penggemar sinetron loh...101% bukan. Menggemari apapun itu manusiawi, malah dalam ilmu psikologi dianjurkan untuk merelaksasi syaraf-syaraf yang setres karena rutinitas, termasuk nonton sinetron, apalagi kalau anda manusia normal yang demen menikmati keindahan yang disajikan lawan jenis; secara artis sinetron kan, mau cowok, mau cewek, bening semua..lah iya lah namanya juga artis..coba kalau sering-sering ke pasar jalan kaki! Lah kok jadi sewot.
Ok mari kembali ke permasalahan yang sebenarnya ingin saya angkat. Sebagai seseorang yang punya TV di rumah sendiri tapi harus sering juga nemenin umiq (baca: ibu) menunggu anggota keluarga yang lain pulang, mau tidak-mau saya ngelirik-ngelirik sinetron yang lagi tayang sambil seliweran ke sana kemari, maklum my mom's hobby is wacthing it gitoh. Tidak bisa dipungkiri, sinetron Indonesia memang sepertinya tidak bisa jauh dari  gaya hidup metropolitan..apa karena dibuatnya di Jakarta ya, kalo dibuat di Lombok mungkin jadi cidomo (baca: dokar)  politan he..he. Perhatikan saja penampilan para actress and actors in actionnya mereka tampak begitu kinclong, sepatu mengkilap, dress mehonk dan setelan khas kantoran gedongan. Keluar kantor atau bahkan seperti peran terbaru Nikita Willy dalam Yusra dan Yumna, keluar sekolah pake mobil mewah, wow ini buat anak-anak SMA pada ngiler. Turun dari mobil mewah mampir dulu ke resto, club, atau hotel berbintang setelah itu barulah pulang ke rumah yang tampak bak istana. Dampak signifikannya pada alur cerita jelas. Kisah cinta yang diangkatpun jadi kisah cinta berkelas, kelas menengah atas maksudnya. Si cewek bermobil dan bergadget
get dan si cowokpun tampan dan tajir..kurang apalagi. 
Okey kalau ada yang protes, masih ada kok peran cewek yang jadi orang miskin!. Tapi tetap saja kan cowoknya tajir dan ujung-ujungnya ceweknya pun ikutan tajir. Contohnya saja Amirandah dalam Kemilau Cinta Kamila, awalnya dari gadis miskin dengan pendidikan minim, berubah menjadi kalangan ningrat. Sayangnya, semua setting dan alur yang menampilkan segi kesederhanaan dalam sinetron itupun serta merta lenyap ketika si cewek berubah tajir..dan ini seperti memutuskan hubungan dengan sejarahnya ketika doleo masih kere.
Okey-okey kalau masih ada yang protes, ada kok sinetron yang cewek n cowoknya sama-sama kere. Ini hanya wajib bagi  sinteron agamis yang berbau betawi. Ya kita memang perlu apresiasi. Tapi seperti yang saya utarakan di atas, hedonisme masih menjadi ciri khas sinetron kita.
Jadi kesimpulannya? Ini seharusnya memunculkan sebuah  pertanyaan di benak kita. Apakah romantisme hanya milik yang sugiiih???? Entah apa yang ada di benak para sutradara dan produser kita, mereka seolah mengekang kreatfitas sendiri, menciptakan paradigma sempit yang malah parahnya disodorkan ke publik. Mereka seperti tidak pernah harus menambal ban saat di perjalanan, dan terinspirasi dengan adegan tukang tambal ban yang berpeluh-peluh lalu si emak datang membawakan segelas kopi, syukur kalau ada pisang gorengnya. Bukankah juga romantis kalau ada muda-mudi pacaran tapi pas kangen ga punya pulsa, Telkomsel dan Sule malah lebih cerdas membca konflik yang bisa muncul, seperti di iklan lebay kartu AS. Atau kalau mau makan, milih di warung aja karena dompet tipis, Kan IT'S NOT WHAT YOU EAT THE MATTER  BUT WITH WHOM YOU HAVE THE MEAL WITH!!!
Oh please deh, cinta diberikan Tuhan untuk semua insan, mau kaya, miskin, cakep, pas-pasan, normal, bahkan dengan kekurangan fisik,, semua bebas merasakan anugrah yang mengangkat martabat manusia lebih tinggi dari ciptaan lainnya. Dan saya tahu kali ini g bakal ada yang protes, kenyataan yang ada memang sebagain besar penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemisikinan. Tapi jumlah penduduk toh tetap bertambah, itu artinya cinta tetep eksis, orang miskin malah lebih produktif dalam berketurunan kan?.
Jadi memang ada yang salah di persinetronan kita. Kira-kira di tahun 2000 waktu saya masih SMP, Pak Guru saya pernah bilang orang Jepang heran sama tampilan sinetron hedonis kita, mereka bilang para aktivis sinteron seperti tidak ngeh dengan kondisi ekonomi yang lagi krisis, membuat orang menghayal dan ABG menuntut gaya hidup jep-ajepan. Hari ini, DUA BELAS TAHUN berlalu tapi nyatanya wajah sinteron kita masih begitu-begitu aja...inilah yang namanya kondisi tragis yang mengkristal. Tapi ini bisa berubah kalau publik, kita sebagai penonton juga kritis. Tidak hanya duduk tenang dan tenggelam dalam kisah-kisah kamuflatif sperti itu. Prinsip bisnis kan menyesuaikan selera pasar. Saya yakin kalau kita semua cerdas, selera pasar juga bisa berubah dan akibatnya tampilan sinetron juga bisa lebih bermutu dan real.

Kamis, 23 Februari 2012

Novel; The Crossing Part 1


Pendahuluan
Ashmole, Barnet, London
Jika suatu hari kau pernah berpikir ingin mengubah hidupmu, menjadi lebih terasa nyata tapi kau mendapatkannya di dunia yang begitu tidak nyata bagi sebagian besar orang, apa yang akan kau lakukan?
Melepaskannya? Namun jika kau harus menghadapinya karena keadaan memaksamu, di mana jika menghindar artinya kau membahayakan orang-orang yang kau cinta… apakah kau sanggup menanggalkan kepengecutanmu- melupakan dirimu yang selalu jadi pecundang di dunia mu, kemudian menggenggam pedang dan berjuang mengalahkan kegelapan yang sebenarnya tidak dapat kau mengerti kepentinganmu atasnya.
Bagaimanapun, aku sudah memutuskan, walaupun dengan keraguan yang mengaliri nadiku. Aku melangkah mendekati kematian, menyelamatkan dia  yang ditakdirkan untuk seseorang yang kucinta. Seseorang yang tidak mungkin lagi kutemukan di duniaku seandainyapun aku bisa kembali.









  1. Hari yang buruk
“Oh tidak! Aku pasti terlambat!” Aku terperanjat dari tempat tidurku yang hangat, tidak mempercayai angka yang ditunjuk jarum jam weckerku yang berbunyi sangat memekakkan. Aku bergegas mengambil handuk dan meluncur ke kamar mandi sambil menggerutu dalam hati “Kenapa aku begitu bodoh! Seharusnya aku menyetting jam itu tiga puluh menit lebih awal daripada biasanya!”. Untungnya aku bukanlah tipe gadis yang memiliki standar waktu khusus di kamar mandi jadi mandi hanya makan waktu beberapa menit untukku. Ritual selanjutnya tentu saja menyabet pakaian yang sudah kusetrika rapi dari lemari tuaku lalu berdiri di depan cermin – ini bagian tersulit. Wajahku yang kelewat putih terlihat pucat, emm ini mungkin gara-gara aku tidur terlalu larut karena harus menyiapkan esaiku,  tapi mungkin juga sudah takdir, aku memang selalu terlihat seperti ini, setidaknya itu yang kuyakini. Sekarang aku harus berjuang dengan sisir untuk merapikan rambutku yang sudah pasti tidak dapat kuandalkan untuk ikut audisi model shampoo. Rambut sebahuku memang kelewat subur bahkan bisa dibilang rimbun. Ikal dan liar, membuatku tidak pernah berpikir untuk menggerainya bahkan jika aku ditawari uang 1000 Poundsterling. Ha tidak akan pernah!. Setelah selesai dengan diriku, kini sasaranku adalah tumpukan buku di atas meja belajarku. Dengan segera ku susun buku-buku tebal itu dan tidak lupa pula lembaran-lembaran yang yang sepertinya menentukan hidupku hari ini dan menjejalkan mereka ke dalam tas ransel super besarku.
Di ruang makan sempit rumah kami, mom, sibuk meletakkan piring-piring sarapan . Adikku, Lean menyantap roti isi itu dengan sangat perlahan. Dia memang super lelet jika makan, sehingga kadang-kadang aku harus menggeprak meja atau rasanya ingin memasang  bom waktu di depan piringnya!. Tanpa berpikir ku habiskan roti isi itu dengan tiga gigitan besar-tindakan yang akan membuat Lean mati tersedak. Segelas susu di depan ku pun habis dalam sekali tegukan. Mom memandangku dengan tatapan menegur. “Bersikaplah  seperti seorang gadis, Zara!” mom akhirnya benar-benar menegurku.
“Maaf hari ini aku harus cepat tiba di sekolah!” aku mencium pipi wanita yang sangat kusayangi itu dan bergegas menuju pintu meninggalkan Lean yang masih duduk tanpa ekspresi dengan roti yang belum habis separuh.
Berjalan kaki itu sehat, dan itulah yang kulakukan setiap hari untuk ke sekolah. Jarak rumahku dengan SMA Barnet hanya beberapa blok jadi aku tidak perlu naik bus atau diantar van tua kami jika tidak terpaksa.
Koridor-koridor menuju kelas Biologi dijejali para murid yang tampak teburu-buru. Mereka berjalan cepat dengan membawa tas dan ditambah binder yang di dekap di dada. Tentu saja bukan hanya aku yang merasa hari Senin itu menyiksa, harus tiba di sekolah lebih awal dan menyetor tugas-tugas selama weekend – menyebalkan. Tapi aku, tentu saja terlihat berbeda, jauh dari kesan akan hanya menghadapi hari Senin, tapi lebih mirip akan menghadapi ujian thesis dengan memakai kostum yang tidak tepat. Aku berani bertaruh, tidak ada murid perempuan yang membawa ransel sebesar dan seberat milikku. Isinya bukan hanya buku pelajaran hari ini tapi juga tumpukan buku yang dimakan otakku selama seminggu, dan harus ku kembalikan ke perpustakaan sekolah dengan tentu saja meminjam beberapa buku lagi. Karena itu, tidak ada yang heran jika kacamataku begitu tebal bahkan lebar, seperti tersangkut di hidungku yang runcing.
Aku baru saja melangkahkan kaki memasuki kelas tapi sudah menemukan pemandangan yang membuat perutku mual dan merusak suasana hatiku yang memang sudah kurang bersahabat sejak pagi. Aku benci harus menghadiri lima kelas yang sama dengan mereka. Aku benci dengan sikap mereka yang sangat berbahagia harus berbagi kelas denganku.
“Hey gadis planet buku, apa weekend mu menyenangkan?” Daisy mulai lagi.
“Tentu saja dia berkencan dengan buku-buku tololnya!” Seorang gadis jangkung lain menimpali dan gerombolan itupun tertawa. Aku sebisa mungkin tidak mempedulikan ucapan mereka yang nyata-nyata sebenarnya sangat menggangguku. Jika saja aku bukan aku, pasti sudah kulempar wajah mereka dengan ranselku sehingga blush on nya berubah jadi ungu. Tapi aku, tidak punya nyali bahkan untuk menatap mereka sekalipun.
“Oh ya, hari ini aka ada pertunjukkan lucu”
“Apa?”
“Masa kau lupa, si nona jadul akan presentasi”
Dug. Perutku benar-benar terasa melilit. Aku harus siap menghadapi segala tingkah laku mereka selama penampilanku nanti. Tentu saja aku siap- setidaknya itu yang aku inginkan.
“Aw!” Ada sesuatu mengenai bahuku. Seseorang melemparku dengan bola kertas. Aku menoleh, sebagai reaksi spontan karena jika berpikir lebih jauh seharusnya tidak perlu kulakukan.
“Berikan pertunjukkan badut..Oke!” Ben nyengir dengan sangat menyebalkan dan gerombolan itupun kembali terpingkal-pingkal. Tapi semuanya tiba-tiba senyap, beberapa murid yang tadinya duduk di meja atau di kursi dengan kaki terlentang di meja seketika jadi sangat mengerti cara duduk yang sopan dan ingat letak kursi masing-masing. Mr.Tim tampak rapi dan segar seperti biasa. Rambutnya yang berkilau hitam menempel kaku pada keningnya yang meninggi. 

Kami pun dapat merasakan aroma parfum aneh  yang  menyengat. Pria berusia 40an itu berjalan lurus, seolah tidak memperhatikan sikap para murid yang spontan berubah saat dia masuk. Dia meletakkan tasnya yang berbentuk koper di atas meja dan mengeluarkan sebuah notebook.
“Selamat pagi” Nada Mr. Tim dingin.
“Pagi Sir” Satu dua orang membalas.
Mr. Tim mengerutkan kening dan kembali ke meja lalu mengutak-atik laptopnya. Hah seandainya saja, ya..aku sering menghayalkan seandainya saja guru Biologi ini seperti Mr. Molina guru Biologi di film Twilight. Penuh semangat dan punya teknik mengajar yang menantang tapi menyenangkan. Twilight, salah satu dari sedikit bukti bahwa aku masih remaja normal yang tidak hanya bergulat dengan buku. Aku masih menyukai ketiga seri film itu, sangat malah. Aku menontonnya berulang-ulang tanpa bosan. Mungkin karena terlalu suka, makanya aku membandingkan Mr. Tim dengan Mr. Molina. Aku jadi ingat saat pertama kali Edward bicara pada Bella di kelas Biologi. Mr. Molina menyediakan bawang raksasa emas untuk pasangan tercepat yang bisa mengidentifikasi lapisan-lapisan bawang yang disediakan. Semua siswa jadi bersemangat tapi  Bella dan si vampir tampan tetap jadi yang nomor satu. Sedangkan Mr. Molina, huh dia begitu dingin dan sulit sekali menemukan semangat untuk benar-benar membuat kami paham atau setidaknya bisa lupa bahwa ini kelas Biologi yang penuh dengan mikroskop, air raksa, atau setoples katak mati. Tidak ada yang benar-benar ingin menatap matanya jika tidak harus.
“Hari ini giliran Mr. Morrey dan Ms. Sadler untuk presentasi” Mr. Tim berdiri tegak dengan dagu sedikit terangkat setelah yakin  telah dengan sangat teliti  mengecek daftar-daftar itu dari notebook nya. Ada gumpalan yang sepertinya baru saja tertelan ketika kudengar nama belakangku disebut.
“Mr. Morrey, silahkan”
Jim Morrey, tidak ada yang tidak mengenal dia. Tubuhnya yang atletis seperti simbol bahwa dia pantas jadi kapten tim basket. Wajahnya? tidak ada gadis yang meragukan itu. Putih, dengan rahang kokoh serta sepasang mata biru yang memikat. Aku juga mengaguminya, sangat. Ini juga membuktikan aku masih bisa dibilang remaja normal. Jim tampak santai.
“Selamat pagi semua” Senyumnya merekah, memamerkan gigi-giginya yang putih. Kulihat beberapa gadis berbisik-bisik.
“Topik saya kali ini adalah…..”Aku menahan nafas. Bagaimana bisa dia melakukannya sesempurna itu. Penjelasannya mengalir seperti peluru, penuh kepastian. Di beberapa sesi dia menampilkan gambar tentang …diikuti beberapa instruksi dan pertanyaan. Aku merasakan kursiku tidak nyaman lagi. Jantungku berdebar lebih kencang dan jari-jariku seperti bergerak sendiri meremas-remas tangan satu dan yang lainnya. Tepuk tangan riuh menandakan suksesnya presentasi Jim. “Tenang, kau pasti bisa melakukannya” aku berbisik dalam hati. Mr. Tim melorotkan kacamatanya dan menatapku.
“Ms. Sadler?”
Aku seperti terkena setrum, tersengat dan langsung berdiri.
“Ya, tentu Sir” kurasakan jantungku seperti berlari saat aku melangkah menuju meja di depan kelas. Nafasku juga mulai keluar masuk seenaknya.
“Selamat pagi semua” akhirnya itu terucap juga.
“Topik saya kali ini adalah ………………………………..” ku sadari wajah-wajah itu begitu fokus padaku, dan gerombolan Daisy mulai memperlihatkan sikap mengusik. Aku benci jadi pusat perhatian dan ini membuat semuanya jadi menegangkan bagiku.
“Akan saya awali dengan penjelasan tentang masing-masing proses perubahan tersebut. Yang pertama , evaporasi. Untuk ini saya memiliki sebuah bagan. “ Aku menarik  nafas panjang kemudian menatap tumpukan kecil kertas-kertas yang sudah kupersiapkan. Ku periksa tiap lembaran itu mencari bagan yang kumaksud, tapi betapa paniknya aku ketika tidak kutemukan lembaran yang ku cari. Tanganku mulai basah. Apa iya aku meninggalkannya di rumah karena terburu-buru. Tidak mungkin, aku yakin sudah menatanya sejak semalam sehingga tata letaknyapun sudah beraturan dan  tidak akan meninggalkan masalah jika aku mengambilnya terburu-burupun. Mataku tiba-tiba terasa panas dan tanganku tidak hanya dingin tapi juga mulai gemetar. Ku ambil sebuah lembaran tanpa garis dengan hanya bercoretkan satu kata dengan tinta merah berhuruf kapital: “LOSER!”. Siapa yang melakukan ini. Seseorang menukar satu lembaranku dengan selembar sampah ini. Dari sudut mataku kutangkap gerombolan itu mulai cekikan. Akhrinya aku ingat, sebelum sampai di tempat duduk tadi, kakiku terantuk meja dan lembaran-lembaran di tanganku jatuh dan berserakan  tertiup angin dari baling-baling yang menempel di langit-langit kelas, tepat di atas kepalaku. Aku memunguti lembaran-lembaran itu dan tiba-tiba saja Jim menghampiriku dengan senyum yang pasti membuat gadis manapun terpaku dan lupa sepatunya masih memijak lantai.
“Ini lembaranmu tercecer” senyum manis itu kini terkenang sangat menjijikkan di otakku. Bagaimana bisa Jim melakukan ini, setahuku dia tidak pernah memperolokku seperti yang lainnya, walaupun aku tidak bisa menjamin dia memiliki pemikiran berbeda tentangku. 
“Ada masalah Ms. Sadler?” Suara Mr. Tim tenang tapi terdengar seperti kilat yang menyambarku. Dan spontan lembaran-lembaran presentasi itu terlepas dan jatuh ke lantai. Aku menunduk dan kudapati keringatku menetes. Aku tidak pernah berharap menjadi tuli, tapi untuk sedetik saja, lebih baik aku menjadi tuli daripada harus mendengar tawa-tawa yang tertahan itu. Aku berdiri lagi, dan kini, aku hanya ingin menatap satu orang. Jim tersenyum padaku. Tapi kali ini senyumnya sama sekali tidak manis, melainkan seperti senyum puas dan menantang. Bagiku itu seperti berkata “Apa yang akan kau lakukan?”. Pertanyaan itu memang membombardir otakku. Sebenarnya tanpa bagan itupun aku masih bisa menggambarnya dengan spidol di whiteboard karena itu sudah di luar kepalaku. Tapi masalahnya pelakunya adalah Jim, sosok yang selalu membuatku berdebar bahkan jika hanya berpapasan di lorong sekolah. Aku frustasi.
“Ms. Sadler, kami tidak hanya ada di sini untuk menunggumu?” Ada geraman dalam suara Mr. Tim. Dengan aliran darah yang masih kurasa deras dalam otak dan wajahku, ucapan itu terlontar begitu saja.
“Maaf, saya tidak bisa melanjutkan. Beberapa paper saya tertinggal di rumah”
“Huuuuuuuh!” Kini suara cemoohan itu begitu bergemuruh, mereka tidak terbendung lagi untuk mengekspresikan kepuasan  atas ketololanku.
“Ini mengecewakan, kau tahu Ms. Sadler, tidak ada kesempatan kedua untuk ini. Dan itu artinya kau harus berjuang keras di ujian semester nanti.” Ucapan Mr. Tim datar tapi seperti sayatan pisau dihatiku. Aku menelan ludah.
“Ya, saya tahu. Maafkan saya”.
Selanjutnya aku hanya duduk terpaku tanpa bisa mencerna satupun penjelasan Mr. Tim tentang materi selanjutnya. Aku masih tidak habis pikir, kenapa harus Jim. Bel berdering dan semua orang beranjak meninggalkan ruang kelas. Gerombolan itu dan diikuti Jim di belakang mereka melewatiku. Jim mengetukkan jarinya di mejaku. Tatapannya penuh pesona  menyakitkan. Kelas itu kini sepi. Hanya aku yang masih belum bisa beranjak.
“Zara! Kau di sini? Aku mencarimu sejak tadi. Ada yang perlu kuceritakan” suara Lucie, seperti lonceng, selalu gemerincing, ceria dan penuh semangat. Tubuh mungilnya  menubrukku. Aku hanya tersenyum tipis, tapi rupanya sahabatku itu bisa menangkap sinyal ketidakberesan dalam sunggingan senyumku.
“Kau ini kenapa? Kelihatanya ada masalah” Mata coklatnya penuh kecurigaan. Dan aku tahu aku tidak akan pernah bisa berbohong pada Lucie. Kami sudah seperti saudara, walaupun aku tidak berani menyebutnya kembaranku. Karena dia jauh lebih sempurna secara fisik. Sejak kecil kami tumbuh bersama, rumah kamipun bersebelahan sehingga dulu kami sering menghabiskan waktu bermain Barbie. 
“Ini” Aku menyodorkan kertas bertuliskan kata menyakitkan itu.
“Seseorang menukar lembaran presentasiku dengan kertas konyol itu. Dan yang lebih konyolnya lagi, walaupun sebenarnya itu tidak terlalu masalah buatku, aku tidak bisa melanjutkan presentasiku”. Paparku.
“Keterlaluan. Kali ini mereka sudah sangat keterlaluan. Siapa yang melakukannya?” Lucie meremas kertas itu. Aku bisa merasakan emosinya yang meluap.
“Jim” jawabku singkat.
Prok! Kepalan tangannya kini menghantam meja.
“Jim? Si flamboyan tolol itu!” hatiku tersentak melihat reaksi Lucie. Dia memang sudah muak dengan perilaku gerombolan Daisy, tapi dengan Jim, kurasa dia sama tidak percayanya denganku. Apalagi beberapa bulan lalu, Jim pernah mencoba mendekati Lucie dan mengajaknya berkencan. Tapi tentu saja Lucie yang anti dengan cowok playboy menolaknya mentah-mentah. Apa itu juga yang melatarbelakangi tindakan Jim padaku. Aku mulai berspekulasi.
“Dan kau diam saja?kenapa tidak kau tunjukkan bukti otentik ini pada Mr. Tim? Kau kasihan padanya? Atau kau masih menaruh perasaan konyol seperti gadis-gadis bodoh lain?!”
“Aku tidak bisa” Sulit sekali menjelaskan perasaanku tentang yang kualami tadi, walaupun intinya apa yang dikatakan Lucie benar.
“Ayo kita selesaikan!” Tiba-tiba Lucie berdiri dengan masih meremas lembaran itu. Tangan yang satunya dengan kasar menyeretku.
“Apa yang kau lakukan? Kita mau ke mana?!!”
“Biar aku yang selesaikan!”
Dan semua jelas bagiku ketika kami sampai di kafetaria. Mata Lucie menyapu ruang penuh siswa itu. Kemudian dengan langkah pasti dan masih dikuasai emosi dia menuju satu meja. Di sana, Jim duduk santai dengan sekaleng soda bersama beberapa siswa lain. Tanpa menunggu satu-dua-tiga, Lucie melemparkan kertas yang sudah berbentuk bola itu tepat ke wajah Jim. Jantungku seakan meloncat melihat tindakannya. Belum pernah Lucie senekat itu.
“Apa-apa’an kau?!” Jim langsung bangkit dengan wajah garang.
“LOOSER itu lebih cocok untukmu. Sebuah tindakan yang memalukan!”
“Oh ini?” Jim membuka gumpalan kertas itu. Dia menatapku dengan pandangan sangat menghina, dan aku merasa jatuh tenggelam dalam lautan gelap dan  tidak bisa bernafas.
“Kau mengadu pada peri cantikmu?”
“Bukan..begitu maksudku, sudah lupakan saja. Ayo kita pergi, Lucie” Aku  menarik lengan Lucie, tapi si keras kepala itu tidak bergeming.
“Ini cara terbodoh untuk membalas penolakanku atas ajakan kencan menjijikanmu!” Alis Lucie terangkat dan emosinya benar-benar tidak terbendung. Tiba-tiba si pirang Daisy datang, mengalungkan lengannya ke leher Jim.
“Apa kita ada masalah dengan dua makhluk aneh ini, sayang?” dengan nakal  bibirnya menyapu rahang hingga ke pipi Jim lalu menatap jijik pada kami.
“Lucie merasa dirinya terlalu penting, itu saja” Ada cekekehan melecehkan dalam nada bicara Jim, dan tangannya terangkat menggapai kepala daisy kemudian mendekatkan wajah gadis itu ke pipinya. Perutku melilit melihat aksi mesra-mesra’an mereka. Dan Lucie pun sepertinya terpaku, mematung. Dia sama terkejutnya dengan aku.
“Kau akan membayar semua ini” Tatapan Lucie setajam elang, dia seperti menggertakan gigi.
“Kesempatanmu sudah hilang” Wajah Daisy penuh kemenangan. “Dia milikku sekarang”.
“Aku beruntung melemparnya ke sampah sepertimu”
Seketika tubuh Daisy menegang dan tangannya hendak menggapai Lucie, tapi Jim dengan sigap mencegahnya. 
Awas kau …”
Kini Lucie seperti melupakan aku, langkahnya cepat. Dia berbalik meninggalkan cafeteria. Aku sampai harus berlari kecil megikutinya, seperti sedikit usaha untuk mengingatkan kalau dia berjalan denganku.
Ketika kelas terakhir berakhir , aku pulang bersama Lucie. Sepanjang perjalanan, tidak satu patah katapun terucap dari mulut Lucie. Kami berjalan dalam kesunyian di tengah-tengah suara klakson mobil. Aku tahu, percuma membuat Lucie bicara jika dia sedang tidak ingin, itu sama saja dengan mengaktifkan bom waktu dan meledakkan seluruh kota. Lebih baik aku menunggu, aku tahu Lucie tidak bisa menyembunyikan apapun dariku, setidaknya tidak dalam waktu terlalu lama. Dia pasti bicara.
“Sampai besok” Lucie tersenyum singkat ketika kami sudah berada di depan gerbang rumahnya.
“Ya, sampai besok. Ee..terimakasih sudah membelaku” Kataku hati-hati.
“Sudahlah, itu tidak penting” Dia berusaha tidak menatapku. Aku meneruskan langkah ke rumah di sebelah rumah Lucie, rumahku sendiri.
“Ini hari yang buruk” gumamku.
Aku berharap bisa langsung tidur sebelum menyelesaikan tugas-tugasku hari ini. Ya..semacam mencari cara melupakan kejadian tadi, meredam hatiku yang masih berkecamuk. Tapi, baru saja hendak menuju kamarku, ku dapati mom sedang duduk menonton TV atau tepatnya terpaku di depan TV yang tombol mute nya aktif. Sepasang mata sayunya merekah ketika melihatku, diapun seketika bangkit dari sofa.
“Ah, Zara, syukurlah kau pulang” 
“Apa ada yang tidak beres?” Aku tidak bisa menutupi insting kecurigaanku karena ku rasa mom sengaja menungguku. Wanita paruh baya yang ku kenal sangat bijaksana itu menarik nafas.
“Ya, ini tentang adikmu. Sepulang sekolah dia langsung membanting pintu kamarnya. Aku sudah berusaha mengetok, tapi Lean tetap tidak mau membuka pintu. Oh..sayang aku khawatir sekali. Mungkin dia mau bicara denganmu” papar mom penuh kekhwatiran. Aku merengutkan alis, ada apalagi ini? Bukannya tadi aku sudah cukup mendapati hari yang menjengkelkan, sekarang harus mengurusi Lean. Bukannya aku tidak peduli padanya, tapi suasana hatiku saat ini saja masih belum bisa kuatasi. Namun aku seperti biasa, tidak sanggup melihat mom dirundung gelisah dan kesedihan seperti itu. Sejauh ini dia sudah memberikan yang terbaik bagi kami.
“Ya, akan ku coba” Aku mengetok pintu kamar Lean yang terkunci rapat.
“Lean, kau kenapa? Biarkan aku masuk, mungkin kau bisa ceritakan semuanya. Atau jika kau tidak mau cerita, kita bisa keluar dan merental film”
Tidak ada tanda-tanda Lean akan membuka pintu.
“Baiklah, maafkan aku. Aku lupa sekarang kau sudah besar, tidak mempan dibujuk-bujuk seperti itu. Tapi itu juga tandanya, kau harus lebih sensitif terhadap perasaan anggota keluarga yang lain. Tidakkah kau kasihan pada mom, dia sangat khawatir.”
Tetap tidak ada reaksi.
“Ok kalau begitu kusimpulkan bahwa kau masih anak manja. Ingat Lean, Dad sudah pergi, dan kita hanya punya mom, dan sekarang kau menyakitinya seperti ini” Kurasakan mom menepuk pundakku,seolah mengisyaratkan agar aku tidak perlu terlalu begitu.
“Krek” akhirnya pintunya terbuka.
“Hanya kau yang boleh masuk” Suara Lean berat dan jelas sekali matanya sembam. Hidungnya pun tampak kemerahan. Kami duduk di atas tempat tidurnya yang sempit. ku biarkan dia bisa menguasai dirinya dulu.
“Apa kau mau cerita?”
Lean sedikit terisak.
“Aku ingat Dad” Jawaban singkatnya seperti mengoyak jantungku. Lean yang masih begitu belia, dia belum sepenuhnya bisa merelakan kepergian Dad.
“Di sekolah, Ms. Sprout, kau tahu, guru Bahasa Inggrisku yang tua dan galak itu…Dia menyuruh kami membuat essay sederhana tentang peran seorang ayah dan seberapa besar peranan itu bisa mempengaruhi kehidupan anak-anaknya” Sambung Lean.
“Dan kau rasa itu begitu berat?” aku menatap dalam wajah adik semata wayangku itu. Dia mengangguk.
“Ya aku mengerti. Kau ingat ketika Dad memberimu hadiah piala saat ulang tahunmu yang ke sepuluh?”
Lean menatap piala besar di meja belajarnya, sebuah senyum tersungging.
“Dad memberimu itu karena dia ingin kau selalu jadi juara atau setidaknya jadi pemenang untuk dirimu sendiri. Dia ingin kau tumbuh jadi anak gadis yang hebat, yang bisa tegar menghadapi dunia. Dad pasti sangat bangga jika hari Senin nanti kau datang dengan essay yang tebal dan membuat wajah Ms. Sprout menjadi semakin keriput karena harus memeriksa berlembar-lembar essaymu” Perkataanku mengalir begitu saja. Aku tidak mengerti kenapa aku bisa menjadi begitu “kakak” untuk Lean, nasehat itu terlontar begitu saja padahal aku sendiri masih membutuhkannya. Ku sadari Lean mencerna omonganku, tapi dia masih diam.
“Jadi apa kau perlu bantuan untuk mengerjakannya?”
Tiba-tiba wajah Lean terangkat dan menghadapku.
“Tentu saja tidak. Aku pasti bisa” senyumnya mengembang dan aku tahu ini pertanda masalah selesai.
“Baguslah, aku tahu kau hebat. Walaupun sering menyebalkan” Aku mengacak-acak rambut kemerahnnya yang sudah kusut.
“Ih kau ini, aku tidak suka kau melakukannya” Lean menyingkirkan tanganku dari kepalanya. Aku beranjak menuju pintu.
“Dan jangan kau tutup lagi pintu ini, ku rasa mom ingin masuk dan menagih permintaan maaf”
Lean cengir mendengarkan ucapanku. Dari matanya ku lihat sepertinya dia ingin berterimakasih. Mom masih mematung di luar kamar, kali ini dia berdiri.
“Sudah, dia baik-baik saja. Hanya ingat pada Dad”
“Terimakasih sayang, aku benar-benar bisa mengandalkanmu” Mom memegang tanganku lalu meluncur ke pintu kamar Lean. Gerakan mom cepat, tapi mataku masih bisa menangkap dia mengusap air matanya ketika berjalan.
Aku melempar tasku ke tempat tidur. Baru kali ini aku rasakan kamarku terletak begitu jauh. Aku seperti harus menempuh ribuan kilometer dengan waktu yang sangat melelahkan untuk bisa merebahkan tubuhku ke kasur empuk ini. Posisiku terlentang dan pandanganku mengarah pada bulan dan bintang di langit-langit kamarku. Aku ingat, dulu Dad lah yang membantuku menempelkan kertas hias itu. Aku begitu lelah, dan tanpa terasa rasa dingin mengaliri pipiku. 

Ku usap air mataku yang mengalir begitu saja. Di langit-langit itu, wajah Dad seperti terukir jelas, tersenyum lebar ke arahku. Aku tahu semuanya akan berat setelah Dad tidak ada, tapi sungguh tidak kusangka akan seberat ini. Perpisahan kami pun begitu tidak di sangka-sangka. Kecelakaan maut, itu jawabannya.
Pikiranku semakin berat mengingat kejadian di sekolah tadi. Aku mengerti Lucie sayang padaku sehingga dia tidak suka Jim berbuat begitu. Tapi, aku menangkap kejanggalan pada sikapnya yang pada awalnya begitu berapi-api namun tiba-tiba beku ketika mendapati fakta bahwa kini Jim bersama Daisy. Apa Lucie sebenarnya menaruh simpati pada Jim tapi dia berpikir terlalu rasional untuk memacari seorang yang begitu populer. Aku harap dia akan bicara, setidaknya itu akan melegakannya.
Dan mengenai diriku. Aku benar-benar si pecundang. Dad pasti malu jika melihat aku seperti ini – selalu jadi bahan ejekan. Oh Tuhan, apa semua gadis tidak cantik selalu bernasib sama? Tapi tentu saja jawabannya tidak. Ivy, temanku yang berkulit gelap dan gendut, terlihat begitu menikmati hidupnya dan semua menyukainya. Tapi aku, kenapa aku tidak punya keberanian untuk membela diri. Padahal aku tahu, aku jauh lebih pintar daripada mereka, setidaknya untuk ukuran nilai ujian dan tugas-tugasku. Tapi semua yang kulakukan selalu jadi bahan lelucon. Aku ingin melepaskan diri dari diriku sendiri. Seandainya aku punya banyak uang aku tidak akan memilih tinggal di Barnet, tidak setelah Dad pergi seperti ini. Aku bahkan ingin pergi ke dunia yang  benar-benar berbeda, selain surga tentunya, aku belum siap untuk itu. Maksudku, aku ingin mendapati diriku berada di tempat di mana aku benar-benar dibutuhkan, benar-benar dinantikan, seandainya saja. Khayalanku yang semakin melantur malah membuat mataku kian berat. Tubuhku terasa tidak berdaya melawan kantuk yang sangat hebat. Aku tahu aku pasti melewatkan makan malam dan bersiap mendengar gerutuan mom besok pagi, tapi kakiku rasanya lumpuh untuk beranjak.
“Zara …Zara datanglah, ku mohon…” Suara itu begitu lembut, suara ternyaring seperti gemericik air. Aku juga belum pernah melihat gadis secantik sosok itu. Rambut pirangnya yang bergelombang lembut menjuntai panjang, menyapu lantai tempat dia berlutut. Mata hijaunya seperti batu Esmeralda yang menyimpan emosi rahasia, dan memikat siapapun untuk mendekat.
“Tolong aku…ku mohon” gadis itu mengulurkan tangan ke arahku. Aku mematung di sudut ruangan sunyi itu. Aku ingin melangkah menggapainya,  tapi dia seperti terperangkap dalam selubung cahaya berkilauan. Kakiku terasa kaku untuk melangkah, akupun hanya mengulurkan tangan.
Aku tersentak dari mimpi aneh itu dengan keringat dingin membasahi dahiku. Paras wajah si gadis begitu melekat dalam otakku. Mimpi itu terasa begitu nyata. Dan aku merasa, sepertinya dia benar-benar menungguku. Butuh beberapa menit untukku menepis perasaan aneh yang menyelimutiku.
“Cuma mimpi” gumamku meyakinkan diri. Sesuatu yang agak berat terasa menutupi kakiku. Mom pasti tadinya hendak memanggilku untuk makan malam, tapi malah mendapatiku tertidur pulas lalu meyelimutiku. Mom memang selalu jadi yang terbaik. Dan aku hampir menangis jika memikirkan beban yang harus ditanggungnya.
“Shrek!!” tiba-tiba angin menghempas jendelaku, membuatnya terbuka lebar. Ku tengok jam, ternyata sudah hampir tengah malam. Kenapa aku bisa ketiduran begini. Dengan langkah terseret dan mulut yang menguap kudekati jendela itu. Tirai bercorak bunga-bungaan musim panas menyapu wajahku.  Sesuatu menarik perhatianku. Kuusap mataku keras-keras, tapi sosok itu masih di sana. Aku kembali menggosok-gosok mataku dan memicingkannya agar aku bisa percaya apa yang benar-benar aku lihat. Di seberang jalan, di bawah pohon tua itu, seperti ada sosok pemuda yang beridiri. Dia tidak hanya berdiri, tapi mematung dan pandangannya tepat ke arahku. Lampu-lampu jalan dan cahaya bulan cukup terang sehingga aku yakin tidak pernah mengenal atau bahkan melihat sosok itu sebelumnya. Tapi satu yang kuyakini, dia menatapku tajam. Bulu romaku berjinjit seperti akan lepas dari tubuhku. Tanpa berpikir lagi, ku tarik jendela itu dengan keras. Aku ketakutan.
Tapi ketakutanku tidaklah lebih besar dari rasa penasaran yang seperti menggedor-gedor benakku. “Siapa dia?”. Dan perlahan-lahan jemariku kembali merengkuh jendela itu dan membukanya sedikit, cukup untukku mengintip, apakah pemuda itu masih di sana. Perasaan lega menyergapku. Sosok itu tidak ada lagi di sana. Apa barusan aku bermimpi sambil berdiri ya, aku mulai mempertanyakan kewarasanku.









Rabu, 08 Februari 2012

Welcome

halo, slamat datang di blog I,,Insya Allah kamu akan menemukan hal2 yang bisa berguna setidaknya untuk direnungkan.

Kamis, 02 Februari 2012

The Essense Of Time

Time is;
The only thing you can't turn back
The thing you can't afford with money
Something that make you smile when you review it
Or...it makes you cry as well