Sabtu, 24 Maret 2012

The Crossing Part 2


Chapter 2
Keputusan
Terlalu banyak tidur malah membuat kepalaku serasa berputar-putar. Bahkan setelah kepalaku kuguyur shower,  masih terasa berat.  Aku melangkah keluar dari kamar mandi sambil menjinakkan rambutku yang basah dan kusut dengan handuk. Anehnya, mom sudah berdiri menungguku. Biasanya, dia akan sudah ada di dapur sepagi ini untuk menyiapkan sarapan kami. Aku hanya menatap penuh tanya  wajah lembut itu.
“Kau lupa ya sayang?” suara mom membuatku semakin bingung.
Bola mataku berputar
“Aku tidak mengerti, apa aku benar-benar melupakan sesuatu…ups..” aku sampai menutup mulutku. Bagaimana mungkin aku melupakan hari ini. Hari di mana aku menjadi 17 tahun. Hari yang menuntutku untuk paling tidak mendapatkan kencan pertama.
“Ya..kurasa aku terlalu lelap tidur mom”
“Bisa kulihat itu sayang. Tapi sebagai ibumu aku tidak akan pernah lupa. Ada sesuatu untukmu, ku harap tidak terlalu manis untuk ukuranmu sayang”
Aku menatap kotak yang dijulurkan mom padaku. kotak itu terbuat dari sejenis kaca transparan dan didalamnya bisa kulihat sesuatu berkilauan. Aku tidak bisa menyembunyikan ketakjubanku ketika membuka kotak itu. Sebuah kalung perak yang indah. Tapi bukan kalung itu yang benar-benar menarik perhatianku melainkan leontin yang tersangkut di dalamnya. Leontin itu berbentuk bunga matahari dengan ukuran yangcukup besar. Di sepanjang sisi mahkota bunganya dihiasi kristal kecil yang berkilauan. Pada bagian tengah-tengah leontin tergeletak batu menyerupai bagian sari bunga matahari. Batu itu berwarna jingga, berkelap-kelip namun kemilaunya begitu tidak biasa, seperti ada cahaya yang tersimpan dan meronta-ronta untuk keluar. Selebihnya, leontin itu mendatangkan rasa hangat saat dipandang.
“Kau menyukainya?”
“Oh mom ini cantik, maksudku luar biasa. Aku tidak pernah melihat yang seperti ini. Apa ini tidak berlebihan? Maksudku, apa kau menghabiskan banyak uang untuk ini mom?”
“Sudahlah, jangan konyol. Itu tidak semewah bayanganmu. Aku senang kau menyukainya”.
Kupeluk tubuh hangat itu.
“Terimakasih mom”
“I love you honey”.
Dan tanpa bertanya lagi, mom memasangkan kalung itu di leherku. Lalu menggiringku kedepan cermin. Wajah mom menempel di wajahku.
“Lihat, kau bagai seorang princess. Pakailah ke sekolah”
“Princess? Aku rasa aku lebih ingin jadi warior”
“Warior princess juga tidak buruk.”
Mom mencubit daguku lalu menghambur keluar.
“Warior princess” gumamku. Ya seandainya saja aku bisa jadi seperti Xena si warrior princess dan membantai orang-orang yang selalu menertawakanku. Pikiranku kembali tidak waras.
Di depan gerbang cengir Lucie menyapaku.
“Ku kira kau akan berangkat sendirian hari ini?”
“Tentu saja aku sengaja menunggumu. Selamat ulang tahun ya”
Jemari Lucie meletakkan sesuatu di telapak tanganku. Sebuah gelang tali yng digantungi ukiran dua dolphin.
“Sebagai simbol kalau kita sahabat sejati”
Ada luapan emosi mengaliri tubuhku.
“Terimakasih, kau memang yang terbaik” bisikku di pundak Lucie saat ku peluk tubuh mungilnya. Saat kami sudah berdiri berjarak, mata birunya membelalak ke arah leherku.
“Wow itu cantik sekali”
“Ini?” aku mengangkat leontin matahariku.
“hanya hadiah ulang tahun dari mom. Apa menurutmu terlalu mencolok?”
“Kau ini selalu terlalu was-was. Ini terlihat keren tahu. Aku yakin teman-teman lain juga akan sependapat denganku. Leontin itu seperti menyimpan misteri”
“Ya, eksistensiku juga misteri besar”
“Itu kau tahu”
“Sialan”
Gurauan membuat kami hampir tidak sadar sudah berada di gerbang sekolah. Aku menarik nafas dan berharap semua tidak terlalu buruk. Atau lebih tepatnya aku menginginkan sebuah keajaiban. Keajaiban yang membuat Daisy dan ganknya terkena amnesia mendadak sehingga mereka akan lupa kejadian kemarin. Bukannya SMU itu seharusnya menyenangkan, walaupun bagi seorang kutu buku. Betapa aku menginginkan hal itu, berjalan menerobos kerumunan siswa tanpa takut ada yang akan dengan sengaja mengganjal kakiku.
“Sampai ketemu di kelas Bahasa Inggris ya” Lucie menepuk pundakku dan bergegas menyusuri lorong ke arah barat. Jika kami baru saja bersama-sama lalu kemudian harus berpisah karena kelas yang berbeda, aku selalu merasa seperti baru saja bersandar pada sesuatu seperti tiang atau pohon lalu tiba-tiba sandaranku hilang, aku merasa benar-benar sendirian. Dan sekolah, kembali terasa seperti penjara di mana aku sebagai narapidana yang patuh aturan dan terlalu baik untuk penghuni lain, sehingga mereka akan sakit perut jika tidak mengerjaiku.
Aku masih percaya bahwa paling tidak ada satu hari dalam hidup seseorang, akan jadi hari yang tidak buruk. Bukankah sebagian besar orang mendapatkan hari yang baik pada ulang tahunnya, aku berdoa semoga keberuntunganku akan terus berlanjut sampai bel pulang berdering. Tapi tetap saja jantungku seperti akan melompat keluar ketika sudah sampai di depan kelas sejarah. Debaran jantungku semakin keras, ketika diriku mulai bertanya apakah aku ini mendapatkan kutukan sehingga harus selalu bertemu dengan si pirang ini. Tangannya melingkar manja di pundak Jimmy, dan ini membuat perutku semakin melilit. Apalagi mereka tanpa malu-malu menduduki meja yang paling depan, menghalangi lorong yang harus kulewati.
“Permisi” aku harap suaraku tidak bergetar ketika kata itu terlontar.
“Oh tukang ngadu mau lewat” wajah cantik Daisy sengguh terlihat menjengkelkan.
“Kita lihat,  kalau aku tidak membiarkan mu lewat, apa kau akan langsung mengadu lagi pada si kurus itu?”
Hati ku menjerit, pikiranku berteriak menimpali perkataan Daisy. AKU BUKAN TUKANG ADU! Tapi tentu saja mulutku terkunci dan kepalaku terasa semakin berat sehingga wajahkupun tertunduk.
“Sudahlah sayang, masih pagi” suara Jimmy benar-benar melegakan. Walaupun kemarin dialah salah satu aktor penghancur hariku, ku harap hari ini Tuhan mengubahnya menjadi malaikat penolong, menolongku dari iblis cantik ini.
“Tapi”
“Jangan dekati parasit sepagi ini, biarkan dia lewat”
“Ya, kau benar sayang, parasit itu gatal…ih..”
Parasit?! Aku menyesal sekilas asa tadi sempat muncul. Jimmy sama jijiknya memandangku seperti cewek bodohnya itu. Walaupun caranya sedikit membantu memperpendek masalah, akhirnya aku mendapatkan kursiku.
Pelajaran sejarah bagiku tidak pernah membosankan. Aku menyukai hal-hal yang berbau klasik dan expedisi. Sehingga akupun tidak terkejut saat Mrs. Barner mengumumkan nilai essay tertinggi.
“Kalian sebaiknya banyak berbagi pikiran dengan Ms. Sadler. Essaynya benar-benar sempurna”
Aku merasakan pipiku memerah mendengar pujian itu.
“Terimakasih”  Ucapku seraya mengambil paperku yang kini dihiasai huruf A+ yang begitu besar.
“Tentu saja mendapatkan nilai itu di kelas sejarah sangat gampang bagi Zara, dia kan makhluk pra sejarah”
Nada suara Daisy yang mengejek membuat seisi kelas gaduh penuh tawa. Dan aku serasa semakin tenggelam dan susah bernapas. Namun ketika Ms. Barner mengangkat sebelah tangannya, tawa menyakitkan itu mereda.
“Setidaknya, sebagai manusia modern, dengan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi dan dengan ditunjang oleh beragam media canggih seperti ipod dan internet, kau seharusnya bisa mendapatkan nilai lebih rasional dari pada ini Ms. Hansklin”
Suara Ms. Barner begitu tenang dan dingin. Dan kini tawa itu kembali tumpah ketika semua mata menatap paper di tangan Ms. Barner yang bertuliskan huruf D+  atas nama Daisy Hansklin. Aku bisa merasakan amarah yang mengaliri wajah Daisy, dengan kesal dia mengambil atau lebih tepatnya setengah merebut paper itu dari tangan Ms. Barner. Perasaan tidak enak menyergapku, aku harap tidak akan ada masalah setelah ini, karena aku sudah benar-benar muak.
Ketika bell berdering dan semua siswa berhambur ke luar, tiba-tiba Ms. Barner memanggilku. Aneh sekali rasanya, ketika guru killer ini menatapku lekat-lekat, aku merasa tidak nyaman walaupun tatapannya sama sekali tidak mengancam.
“Zara, kau ini gadis yang hebat. Apa kau tahu itu? Atau jika kau memang lupa biar aku mengingatkanmu. Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam keterpurukan. Semua perlakuan yang kau terima ini sangat tidak beralasan. Ibu yakin jika kau bisa menatap jauh ke dalam jiwamu, kaupun akan bisa menemukan siapa dirimu yang sebenarnya”
Semua perkataan Ms. Barner begitu menghentak jantungku. Aku hampir tidak percaya ternyata Ms. Barner menaruh simpati pada apa yang selama ini kualami.
“Apa kau paham maksudku?”
Pertanyaan itu menyentakku lagi.
“Ya, bu tentu saja. Terimakasih atas perhatian anda”
“Baiklah, aku hanya ingin kau menyadari itu. Sekarang silahkan lanjutkan kelasmu”
“Ya Bu, permisi”.
Pikiranku masih bergelayut saat menyusuri koridor menuju kelas Geograpi. Perkataan Mrs. Barner begitu meresapi hatiku. Aku tahu orang-orang terdekatku juga mengharapkan aku bisa berjalan tegak. Tapi kenapa aku terlahir dengan semua kepengecutan ini. Aku sadar cepat atau lambat aku harus berubah sebelum aku terpuruk terlalu dalam. Aku jadi berpikir apa aku perlu terapi keberanian ya. Konyol.
Berani. Itu kata yang tepat sekali ku butuhkan sekarang, saat Daisy dan gerombolannya, yang di mana kali ini Jimmy tidak tampak bersama mereka, sedang menungguku. Bisa kulihat sinar matanya yang penuh kemarahan dan dengki yang teramat dalam. Aku tahu ini adalah episode lanjutan kelas sejarah tadi. Dan akupun menyadari sepenuhnya bahwa ini akan jadi lebih buruk daripada biasanya. Walaupun Daisy tidak pintar tapi belum pernah dia dipermalukan seperti tadi. Aku berani bertaruh ini akan benar-benar buruk, napasku mulai tidak beraturan.
“Dug!” Aku terdorong beberapa langkah ke belakang. Tangan Daisy mendorong bahuku.
“Apa kau merasa puas gadis pintar? Kau merasa menang!”
“Kenapa kau marah padaku?” akhirnya aku bisa melakukan sedikit pembelaan.
“Jangan pura-pura bodoh, kau makhluk pra sejarah menjijikan. Aku bersumpah hari-harimu akan semakin menyiksa, sehingga kau akan berpikir untuk mengakhiri hidupmu yang menyedihkan ini atau pindah ke dunia antah berantah!”
Tenggorokanku tercekat dan kurasakan tubuhku bergetar. Amarah dan kepengecutan menyelimutiku. Aku sungguh ingin frontal saja mengarahkan tinjuku ke wajah mulusnya yang menyebalkan itu, tapi tentu saja itu hanya sebatas keinginan. Yang sanggup kulakukan hanya diam dengan wajah tertunduk.
“Ha..Daisy coba kau lihat, kalungnya!” Elena, salah seorang angggota gank itu tiba-tiba saja menunjuk kalung berleontinku. Ini membuat perasaanku semakin tidak enak.
“Waw..kau benar, ini imitasi yang sempurna. Emm sungguh tidak cocok untuk si putri kodok. Kau kan tidak punya pangeran yang akan mampu mengubah wujudmu”.
Bisa kulihat seringai dan kilat jahat di mata Daisy dari balik poniku. Dan firasatku terbukti. Dengan begitu cepatnya tangan Daisy menyambar kalung itu dari leherku.
“Apa yang kau lakukan? Kembalikan kalungku!”
Daisy memainkan kalung itu di tangannya, aku tahu sebenarnya dia menyukai leontin matahari itu.
“Ah mari kita lihat, apa imitasi ini bisa tahan terhadap gaya gravitasi!”
Aku merasakan kedua tanganku tercengkram dari belakang. Genggaman Elena begitu kuat, aku tidak bisa melepaskan diri. Jantungku berdegup kencang dan mataku membelalak melihat apa yang sedang dilakukan Daisy.
“Jangan!” aku memekik.
Senyum Daisy semakin lebar. Dia menurunkan sebelah tangannya yang menggenggam kalung itu lalu bersiap-siap mengangkatnya lagi untuk melempar kalung berleontin matahari itu ke udara. Tentu saja, ini yang dimaksud Daisy sebagai uji gravitasi. Tapi sesuatu yang tak disangka-sangka terjadi. Sesuatu yang terjadi begitu cepat. Baru saja Daisy mengangkat lengannya, sesosok bayangan atau makhluk mencengkram tangannya dan seketika itu juga kalung itu lenyap dari genggaman Daisy. Semua berlangsung begitu cepat. Daisy memekik kesakitan. Suasana seketika berubah, penuh ketegangan, kepanikan, dan ketidak mengertian atas apa yang barusan terjadi. Cengkraman Elena meregang dan akupun langsung melepaskan diri. Mataku tadi sempat menangkap ke arah mana sekelebat sosok itu menghilang. Adrenalinku terpacu dan tanpa berpikir lagi, aku berlari kea rah utara menembus kerumunan siswa yang juga memperhatikan kepanikan yang ada. Aku terengah-engah ketika akhirnya kakiku mengantarku ke  taman belakang sekolah yang sepi. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan. Yang aku sadari adalah aku hanya berlari dan akhirnya berhenti di sini, mengharap menemukan jawaban atas apa  yang kucari. Aku bisa mendengar napasku yang tersengal-sengal selain itu hanya ada suara gemerisik angin dari pepohonan. Aku mematung i dan mulai mempertanyakan tindakanku.
“Apa kau mencari ini?” sebuah suara asing menyentakku. Aku berbalik dan keterkejutan kembali menerpaku.
“Kau?” seperti ada gumpalan besar dalam tenggorokanku ketika kata itu terucap.
“Ya, ini aku. Aku ingatanmu bagus. Aku yakin takdir tidak salah telah memilihmu, gadis matahari”
Ketenangan dalam suara pemuda itu malah membuat darahku mengalir semakin kencang. Siapa sebenarnya pemuda ini, maksudku siapa dan dari mana asalnya. Ya tentu saja aku ingat. Dia tak lain adalah pemuda yang ku lihat malam itu, saat angin membuka jendela kamarku. Pemuda asing yang tatapannya membuat bulu badanku merinding.
“Siapa kau? Dan bagaimana leontin itu bisa ada padamu?”
“Pertanyaan yang sungguh normal, tapi kuharap penjelasanku juga bisa terbilang normal itu bangsamu”
Orang ini apa memang benar-benar berasal dari negeri antah berantah, atau sejenis alien, diksi yang digunakannya seolah menegaskan dia berbeda. Tapi dalam kamusku, ku rasa lebih tepat menyebutnya orang aneh.
“Tapi sebelum itu, lebih baik leontin ini ku kembalikan padamu” dia mendekat lalu menggapai telapak tanganku, membukanya dan meletakkan kalung itu. Lalu dengan lembut dikepalkannya lagi telapak tanganku sehingga kalung itu kini seutuhnya berada dalam genggamanku. Aku hanya mematung, otakku kali ini susah sekali berpikir dengan waras. Kulitnya terasa dingin.
“Terimakasih..em kurasa aku bisa melupakan pertanyaanku. Ada kelas yang harus kuhadiri sekarang. Siapapun kau, aku sangat berterima kasih” aku harap aku bisa menyembunyikan kewas-wasanku dan terkesan benar-benar terburu-buru, walaupun aku tahu dia tidak akan percaya.
“oh..kau ternyata sama sekali belum mengenal takdirmu gadis matahari”
“Dengar, ku rasa ada kesalahan di sini, mungkin kau mencari seseorang yang kau juluki gadis mataharimu, tapi yang jelas itu bukan aku dan sekarang aku tidak mau ketinggalan pelajaran”
Aku mulai kesal dengan omongan tidak masuk akal pemuda ini. tapi baru saja membalikkan tubuh, dia melontarkan pertanyaan yang memaksaku menghentikan langkah.
“Apa kau tidak ingin tahu makhluk apa yang merebut leontin itu dari tangan pengganggumu itu, Z a r a?”
Tunggu! Dari mana dia tahu namaku. Dan aku kesal karena dia benar tentang satu hal. Aku benar-benar tidak bisa membendung rasa penasaranku tentang yang satu itu.  Lalu akhirnya kuputuskan untuk menatap pemuda asing itu sekali lagi.
“Em aku tahu, kau pasti sangat ingin tahu. Makhluk yang membuat Daisy sampai tercakar , ha ha aku tahu kau suka bagian yang itu, namanya Delox. dia adalah budak sang penguasa kegelapan. Untungnya sihirnya tidak cukup kuat untuk mengalahkanku di sini. Aku bisa merebut leontin itu kembali”
Aku berusaha mencerna ucapan pemuda itu, tapi semua kerasionalanku menolak.
“Ku rasa kau mengigau, aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan” jawab ku polos.
“Ya, aku tahu bagi sebagian besar manusia sepertimu hal-hal seperti ini hanya terjadi dalam dongeng. Padahal Zara, ada banyak kenyataan aneh yang begitu lekat tapi tak pernah teraba. Untuk membuatmu sedikit yakin, aku ingin mengingatkanmu tentang satu hal. Bukankah sewaktu kecil kau dan adikmu, sering mendengar suara-suara aneh saat Lean  memaksa untuk bermain di kamarmu?”
Senyum tipis terhias di wajah pemuda itu, dia yakin sekali, kali ini aku pasti bergidik mendengar ucapannya, dan ku akui itu benar. Ku rasakan kedua alisku bertaut ketika otakku berputar keras. Pemuda itu , bagaimana dia tahu masa kecilku, bagaimana dia tahu nama adikku, bagaimana  dia tahu begitu banyak hal tentang hidupku. Ini mustahil. Tentu saja aku ingat, ketika masih kanak-kanak aku dan Lean memang sering mendengar suara-suara aneh dari balik dinding kamarku yang berhadapan langsung dengan halaman rumah kami. Dan jika kami mengadu pada Mom, dia selalu berkata kalau suara-suara itu berasal dari rumah Mr. Jack, tetangga kami yang suka mengurung diri dan enggan bergaul. Awalnya kami tidak percaya, tapi seiring bertambahnya usia dan kerasionalan berpikir, kami mulai meyakini bahwa itu hanya halusinasi. Seperti efek yang ditimbulkan terlalu banyak menonton film atau membaca buku fiksi.  Tubuhku menegang dan kurasakan keningku mulai basah.
“Siapa sebenarnya kau?” aku menelan ludah.
Pemuda itu tersenyum, sebuah senyum kepuasan karena akhirnya aku menyerah.
“Namaku Odish, aku adalah penunjuk jalan bagimu hai gadis matahari. Aku berasal dari sebuah dunia yang sebenarnya parallel dengan duniamu, begitu dekat. Sebab itulah anak-anak polos tanpa dosa masih bisa mendengar suara-suara kami, tapi para orang tua terlalu takut untuk lebih mendengarkan anak-anak mereka. Dunia itu bernama Worlenia. Itu adalah sebuah negeri yang indah dan damai sebelum Xirlex, merebut semuanya.” Mata Odish, memicing dan sudut-sudut bibirnya terangkat ketika menyebut nama aneh itu.
“Lalu apa hubungan semua ini denganku?”
“Tentu saja berhubungan. Sang putri menantimu, dia menanti leontin itu kembali” Alis Odish terangkat dan dia menatap lekat leontin di tanganku.
“Tunggu, apa maksudmu kalung berleontin ini adalah milik seorang Puteri dari duniamu? Maaf jangan tersinggung, tapi aku ingin tertawa mendengarnya. Ini pemberian ibuku sebagai hadiah ulang tahunku. Atau kau mau bilang ibuku mencuri leontin sang puteri? Itu malah membuat tawaku akan benar-benar meledak”.
Odish menghela napas.
“Sudah kuduga ini akan jadi begitu rumit. Tapi biar kuteruskan dulu ceritaku. Xirlex menculik sang puteri dan ingin menguasai segenap Worlenia. Penyihir jahat itu tahu Puteri Adara masih menjaga leontin matahari dan dia ingin mendapatkannya untuk membuat dirinya abadi dan benar-benar tak terkalahkan. Tapi sesuatu terjadi ketika Xirlex hendak merebut leontin itu. Sesuatu yang sudah diramalkan oleh para penyihir putih. Sebuah takdir menunggu seorang gadis lain sebagai penjaga kedua leontin matahari. Seketika itu juga, leontin itu lenyap dan akupun tidak sepenuhnya mengerti bagaimana cara leontin itu menemukanmu Zara”
Aku tercengang mendengar semua penuturan Odish yang menurutku begitu imajinatif. Aku mulai berpikir pemuda bernama Odish ini memang mengalami sedikit gangguan. Bisa saja dia seorang psikopat, atau orang berkepribadian ganda yang kadang-kadang merasa dirinya bagian dari dunia lain. Ih..ini membuatku merinding, dan aku tahu cara terbaik adalah segera pergi. Tapi langsung berlari juga akan membuatku terlihat sangat konyol, setidaknya aku ingin terlihat sedikit tenang di mata orang asing.
“Dengar, aku sangat berterima kasih karena kau telah dengan begitu baik hati mengembalikan leontin ini padaku. bahkan ibuku pun akan berterimakasih untuk itu. Tapi semua ceritamu sama sekali tidak sanggup dicerna akal sehatku. Jadi, aku sebaiknya pergi” Aku berkata terus terang, dan langsung saja berbalik pergi.
“Aku harap Delox, tidak akan mengganggumu lagi, kau tahu tidak hanya kami yang menunggumu, tapi Xirlex juga menginginkan kedatanganmu. Dan dia akan melakukan apa saja, untuk membuatmu datang padanya. Takdir tetaplah takdir Zara, kau tidak akan bisa lari”
Suara Odsih, datar tapi menimbulkan gejolak aliran ketakutan di sekujur tubuhku. Tapi aku menguatkan diri untuk tidak berbalik lagi. Aku mempercepat langkah meninggalkannya, yang mematung melihat kepengecutanku.
Walaupun hari itu merupakan hari teraneh dalam hidupku di mana aku sama sekali tidak ingin mendapati hal serupa dengan itu lagi, aku bersyukur semua kekhawatiranku tentang Odish dan peringatannya sama sekali tidak terbukti. Minggu berlalu dan semua biasa-biasa saja, dan aku tentunya masih jadi bahan ejekan di sekolah yang mulai memuakkan itu. Seandainya saja aku bisa pergi ke tempat lain, bertemu dengan orang-orang asing, dan memiliki sebuah peran baru dalam hidupku, aku akan sangat bersyukur. Aku ingin lari dari sekolah dan orang-orang yang selalu membuat hari-hariku menyiksa. Tapi tentunya bukan tempat seperti yang digambarkan Odish, itu sungguh berlebihan  apalagi kalu aku harus sampai berdarah-darah membela kebenaran dan menumpas kejahatan. Aku lega, akhirnya semua terbukti hanya sebagai lelucon saja. Setidaknya itu yang kupikirkan sampai sesuatu yang buruk benar-benar terjadi.
Aku sedang meringkuk di atas sofa, tertidur setelah kelelahan membaca untuk bahan essay bahasa Inggrisku. Tiba-tiba ada seseorang yang membunyikan bel pintu dengan begitu tidak sabar. Setelah memencet bel berkali-kali, kini suara pintupun terdengar di gedor sangat keras. Aku mengusap mata, dan menengok jam dinding. “Ah siapa yang ingin mendobrak pintu pukul 2 dini hari” gerutuku. Tapi Mom sudah bergegas memutar-mutar kunci pintu itu sebelum aku bisa berdiri seimbang.
“Marie, tolong aku, Lucie! Dia…” aku langsung menajamkan telinga dan memasang kacamataku mendengar wanita yang ternyata adalah Mrs. Brown itu menyebut nama anaknya dengan begitu panic. Ada kengerian yang sangat dalam ekspresi wajahnya, kata-kata yang terlontar seperti tidak beraturan. Bahkan anak berusia lima tahun saja akan mengerti sesuatu yang serius sedang terjadi. Aku segera mendekati kedua wanita paruh baya itu.
“Ada apa dengan Lucie?!” tanyaku panik
“Ceritakan dengan tenang Angela” mom berusaha menenangkan sahabatnya itu.
Wajah Mrs. Brown masih histeris, tapi kali ini dia mampu mengatasi isakan tangisnya.
“Kau harus melihat Lucie, aku tidak mengerti ada apa dengannya. Tommy tidak di rumah, aku sungguh bingung harus bagaimana. Maaf aku sudah berusaha untuk menelponmu saja tapi …”
 “Baiklah mari kita ke rumahmu”
Akupun ikut bersama mereka.
“Kunci pintunya Lean” Perintahku pada Lean, yang rupanya ikut menyaksikan percakapan menegangkan kami. Dia hanya mengangguk dan wajahnya masih diselimuti kantuk.
Kami bergegas menyusuri rumah dan langsung menuju kamar Lucie. Ruangan yang sangat ku kenal, karena hampir tiap minggu aku menghabiskan waktu di kamar ini atau Lucie lah yang bermalas-malasan di kamarku. Kamar bercat ungun yang biasanya penuh kehangatan itu kini seolah memiliki aura yang berbeda. Kengerian yang mencekam sangat terasa.
“Ya Tuhan!” dengan spontan aku menutup mulutku dan merasakan keterkejutan yang sangat melihat keadaan Lucie. Teman baikku itu terbaring dan kedua matanya terpejam. Tapi suara rintihannya lemah namun sangat memilukan. Wajah dan seluruh tubuhnya di penuhi bentol-bentol kemerahan.
“Demamnya tinggi sekali, sejak kapan dia begini?” Mom meletakkan telapak tangannya di kening Lucie.
“Kira-kira setengah jam yang lalu. Semula tubuhnya hanya demam, lalu aku memberinya aspirin tapi tiba-tiba bentol-bentol itu muncul begitu saja”
“Kita harus segera membawanya ke rumah sakit, jangan menunggu lagi”
“Aku akan menyiapkan mobil” Mrs. Brown pun segera bergegas. Beberapa menit kemudian, aku dan mom sudah berhasil mengangkat tubuh Lucie yang terkulai tak berdaya dan membawanya ke mobil.
“Biar aku yang menyetir, sebaiknya kau bersama Lucie” Mom menawarkan diri.
Sepanjang perjalanan itu kami hanya mendengar isak tangis Mrs. Brown dan gerutuan ketika teleponnya lagi-lagi tidak diangkat.
Para perawat dengan segera memindahkan Lucie ke ruang perawatan. Seorang dokter memeriksa keadaan Lucie dengan cekatan. Dia kemudian berbicara pada seoarang wanita yang rupanya adalah kepala perawat kemudian berbalik kea rah kami.
“Sebaiknya tunggu di luar dulu, kami akan mengambil sample darahnya. Dibutuhkan hasil laboratorium untuk memastikan penyakitnya” Tatapan dokter itu penuh kehangatan. Di lihat dari usianya, ku rasa dia sudah berpengalaman mengatasi keadaan seperti ini.
Aku menyingkir dari pintu ketika beberapa perawat masuk dengan membawa jarum, infus, dan beberapa alat medis. Dari jendela kaca itu, kulihat darah Lucie mulai di ambil dan dua orang perawat lain memasang alat deteksi jantung serta selang infus ke tubuh lemah itu. Yang membuat kami lebih panic, kini erangan Lucie menjadi lebih keras terdengar, dan bisa kulihat air matanya mengalir dari kelopak mata yang terpejam itu. Hatiku pilu seperti teriris harus menyaksikan keadaan Lucie. Dia gadis yang begitu periang dan penuh energi, ini benar-benar sebuah mimpi buruk. Ketika para perawat itu selesai dan meninggalkan kamar, kepala perawat menghentikan langkah sejenak.
“Kalian  boleh masuk, tapi harap tenang”
“Terimakasih” ucap Mom.
Kami bertiga hanya terpaku, mungkin hanya Mom yang masih bisa berpikir lebih positif. Dia selalu tenang dalam menghadapi situasi apapun, sebuah talent yang tidak bisa diwariskan pada anak-anaknya. Beberapa saat kemudian, kebekuan itu pecah oleh langkah sang dokter. Di tangannya ada beberapa amplop, yang ku rasa adalah hasil tes laboratorium tadi.
“Mrs. Brown, sebaiknya kita bicara di luar” wajah tenang dokter itu masih belum bisa menyembunyikan kekhawatiran yang tersembunyi rapi di balik sudut matanya.
“Sebaiknya ku temani” timpal Mom dan dokter itupun mengiyakan. Hubunganku dengan keluarga Lucie memang unik. Bukan kami saja yang bersahabat, tapi juga kedua orang tua kami. Dan ini yang membuat mom sangat mengerti keadaan psikologis Mrs. Brown yang cenderung labil. Dia bisa saja pingsan jika mendengar hal-hal yang tidak diinginkan tentang anak semata wayangnya. Dan akhirnya hanya aku dan Lucie di ruangan itu. Rasanya benar-benar aneh, kami belum pernah menghabiskan waktu berdua seperti ini. tidak ada suara, hanya suara degup jantungku yang kian kencang. Tanpa ku sadari, air mataku juga mulai menetes. Perasaanku kacau, dan aku tahu ini berhubungan dengan hasil lab itu.
“Sudah ku katakan, Xirlex akan berbuat apa saja!” Aku terperanjat dari kursiku. Mataku membelalak tidak percaya akan apa yang kulihat.
“Bagimana kau bisa ada di sini, e maksudku, bagaimana kau bisa muncul tiba-tiba?!” Kurasakan aliran kepanikan dalam kata-kataku.
Dan senyum menyebalkan itu kembali tersungging.
“Kita dari dunia berbeda, dan kami memiliki beberapa keistimewaan dibanding kaummu. Beberapa dari kami bisa menembus ruang dan waktu, ada di mana saja, dan kapan saja”
Seandainya saja, aku tidak baru saja mendapati bukti ucapannya, aku tentu sudah berpikir semua yang dikatakanya hanya lelucon konyol atau dongeng untuk anak kecil. Tapi yang baru saja terjadi benar-benar membuat paradigmaku berubah. Apakah Odish, memang berasal dari dunia lain.
Matanya yang kekanakan kini tertuju pada Lucie. Sorot mata kekanakan itu kini berubah dingin dan penuh dendam. Giginya juga gemertakan.
“Lihat dia Zara, apa kau tega membiarkan ini berlanjut?”
“Apa maksudmu, apa hubungan semua ini denganku?”
“Kenapa otak pintarmu tidak bisa memahami maksudku, Xirlexlah yang sedang berusaha menyakiti orang-orang terdekatmu. Dia menginginkan leontin itu, dia menginginkanmu Zara”
Aku hampir saja tidak bisa merasakan tubuhku sendiri mendengar ucapan Odish, takut, panic, dan bermacam perasaan bercampur dalam diriku.
“Apa yang harus kulakukan, bagaimana caraku menolong Lucie?!” Kurasakan mataku mulai basah. Perasaan bersalahpun kini meyelimutiku. Aku tidak percaya Lucie begini gara-gara aku. Kenapa bukan aku saja yang disakiti makhluk sialan bernama Xirlex itu.
Odih menatapku tajam, sebuah tatapan yang menembus masuk ke relung hatiku.
“Hanya kau yang bisa menyelamatkannya, kau tahu apa yang harus kau lakukan”
“Ini?” aku menggenggam leontin matahari di leherku, aku juga tidak mengerti, ide itu muncul begitu saja.
Odish menangguk “Lakukan dengan yakin, temukan siapa dirimu?”
Entah apa yang terjadi padaku, tubuhku sekonyong-konyong bergerak mendekati ranjang Lucie, seperti ada yang menuntun. Lalu kurapikan letak leontin di leherku agar tepat menghadap tubuh Lucie yang masih terkulai lemah. Ku pejamkan mataku. Aku sebenarnya bingung apa yang aku cari dan apa yang sedang kulakukan ini. Tapi satu yang kutahu pasti, yaitu bahwa aku ingin menolong Lucie, bahwa aku ingin dia sehat kembali, bahwa aku tidak ingin orang-orang yang kucinta menjadi korban.
Tiba-tiba kurasakan leherku menjadi hangat. Leontin itu mengeluarkan aura yang sepertinya bukan hanya berasal dari leontin itu tapi juga dari dalam jiwaku. Aku merasakan jiwaku dan leontin itu menyatu, dan sesautu menggerakkan instingku untuk membuka mata. Aku seharusnya terkejut dengan apa yang  sedang terjadi, tapi ketenangan dan perasaan yakin kini merengkuhku, membuatku tidak bergeming. Leontin itu mengeluarkan cahaya jingga lembut dan menerpa tubuh Lucie. Cahaya itu hangat dan mistik, dan cahaya itupun seketika itu juga lenyap seiring dengan pulihnya kesadaran Lucie. Aku hampir tidak percaya dengan yang kusaksikan. Lucie tersadar dan seluruh bentol-bentol mengerikan itupun lenyap begitu saja dari tubuhnya.
“Apa yang terjadi? Di mana aku?” Suara Lucie masih terdengar lemah.
Bukannya segera menjawab aku malah menoleh mencari sosok Odish, aku ingin berterima kasih atau sekedar memperlihatkan ekspresi ketakjubanku padanya. Tapi percuma, si makhluk ajaib itu sudah menghilang.
“Dasar!” dengusku.
“Apa?” Lucie kebingungan.
“Oh maaf, ku kira perawat itu masih di sini. Aku senang kau sudah siuman. Aku akan memberitahu ibumu, dia pasti akan sangat lega”
Tentu saja, Mrs. Brown dan mom begitu kegirangan akan keajaiban yang terjadi. Mrs. Brown sampai-sampai tidak ingin melepaskan genggamannya dari tangan Lucie yang masih lemah. Bahkan dokter pun hampir menjatuhkan hasil Lab yang dibawanya ketika melihat perubahan mendadak yang dialami Lucie. Ekspresi wajah dokter itu penuh ketakjuban dan penasaran yang menggebu-gebu.
“tidak mungkin” bisiknya pada diri sendiri.
Setiba di rumah, aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Pagi sudah hampr menjelang, dan aku masih memaksa tubuhku untuk berbaring, berharap bisa menyapu kegelisahan dan beban di kepalaku. Aku tahu aku harus segera mengambil keputusan. Harus cuek dan berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa atau sebaliknya, “memenuhi panggilan takdirku”. Yang kedua ini terdengar benar-benar konyol. Tapi anggapan itu segera berganti dengan perasaan ngeri begitu tubuh Lucie yang dipenuhi bentol-bentol melintasi anganku. Aku tidak mau ada korban lagi. “Menyakiti orang-orang terdekatku” kalimat itu kini bagai terukir dalam otakku, tidak mau lenyap. Aku takut mengartikan maksudnya, walaupun aku tahu pasti itu berkaitan juga dengan keluargaku, Lean dan mom. Hanya mereka keluargaku yang tersisa setelah kepergian dad. Dan aku sangat mengerti sekaranglah giliranku menjaga mereka, paling tidak berusaha agar mereka tidak tersentuh oleh hal buruk apapun. Jadi apa lagi pillihan yang kupunya. Aku terpaksa kali ini harus benar-benar mengumpulkan segenap keberanianku yang ku tahu jumlahnya tidak lebih dari cukup untukku mengambil keputusan ini. Aku harus pergi, atau membiarkan keluargaku celaka. Sederhana.
Aku berangkat sekolah dengan tidak membawa begitu banyak buku. Aku tidak yakin apa Worlenia juga ada kutu buku sepertiku, dan ku rasa aku ke sana bukan untuk membaca. Aku putuskan untuk memakai jeans dan T-shirtku seperti biasa. Walaupun tadinya aku sempat bingung harus memakai kostum apa. Konsep dunia lain selalu identik dengan kostum aneh seperti pakain berjuntai atau malah yang terbuat dari baja. Tapi kurasa, bagian itu bukan tanggung jawabku. Aku hanya ingin tampil seperti aku apa adanya. Yah siapa tahu saja, ketika melihat kedatanganku makhluk-makhluk itu berpikir ulang. Mungkin aku akan lebih tampak seperti “Alice” yang salah seperti di film “Alice in Wonderland”, kemudian mereka mengirimku pulang.
Suasana masih benar-benar pagi. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir di halaman sekolah. Dan ini benar-benar mendukung. Aku bergegas menuju taman sekolah, tempat pertama kali aku bicara dengan Odish. Aku ingin menemuinya. Kami perlu sepakat tentang beberapa hal, sebelum aku memutuskan pergi.
Aku harap tidak ada yang melihatku bertingkah konyol seperti ini. Berdiri kaku beberapa meter di hadapan sebatang pohon oak tua. Seperti mengharapkan sesuatu akan muncul dari pohon itu.
“Odish, aku tahu kau mendengarku. Aku ingin bicara”
Sepi, tidak ada tanda-tanda dia akan muncul.
Aku menarik nafas.
“Ayolah, waktuku tidak banyak. Kalau para murid lain sudah beradatangan, aku akan pergi. Kau kan tahu aku sudah cukup aneh bagi mereka”
Tetap tidak ada perubahan. Aku mendengus kesal.
“Ya sudah, aku pergi dan jangan pernah berharap aku mau menemuimu lagi”
Dan ajaib. Sosok kurus itu kini hadir begitu saja di hadapanku.
“Jangan ngambek begitu, aku tadi hanya ingin tahu sampai mana keseriusanmu. Dan sertinya tidak terlalu buruk. “ Sikap dan cara bicaranya yang santai sungguh menyebalkan.
“Kau tahu aku tidak punya pilihan”
“Ya, artinya kau harus ikut denganku” dia terdengar senang dan menang
“Tapi, aku masih ada beberapa masalah”
Kini kedua alisnya bertaut dan matanya penasaran.
“Masalah?”
“Tidakkan seharusnya bagian takdir ini juga mempertimbangkan bagaimana jadinya kalau aku benar-benar pergi ke Worlenia. Maksudku, bisakah kau bayangkan kepanikan ibu dan adikku kalau aku menghilang begitu saja? Pasti mereka kebingungan dan namaku langsung ada di daftar nama orang hilang di kota ini” celotehku.
“Wow, aku tidak meyangka kau mengkhawatirkan itu”
“Tentu saja, manusia tidak ada yang bisa hilang dan muncul seenaknya sepertimu!” timpalku ketus.
“Ya baiklah, biar kujelaskan. Kau tidak perlu khawatir. Dunia kita memiliki perhitungan waktu yang berbeda sekali. Satu hari di duniamu bisa bagaikan 100 hari di duniaku”
“Kedengarannya cukup melegakan, tapi jika misi penyelamatan sang puteri ini memakan waktu berabad-abad bagaimana? Fotoku bisa tersebar di seluruh kota” Protesku.
“Ku akui kau memang banyak perhitungan. Semua sudah diatur. Sihirku akan membuatmu benar-benar menghilang dari ingatan semua orang yang mengenalmu. Jadi tidak aka ada yang mencarimu” Jawab Odish santai.
“Maksudmu aku akan benar-benar dilupakan? Wow itu kejam sekali”
“Apa kau punya ide yang lebih baik? Sifatnya hanya sementara, saat kau kembali. Semua akan normal lagi, mereka akan bersikap biasa-biasa saja. Ini juga kan supaya kau lebih focus pada misi ini. percayalah” Sekarang dia terdengar benar-benar tua dan bijak. Aku tahu aku tidak punya pilihan.
“Baiklah, ku rasa kedengarannya tidak buruk”
“Kalau begitu tunggu apalagi, mari kita pergi sekarang” Odish mengulurkan jemarinya yang panjang dan putih ke arahku. Sedikit lagi jemariku juga menggapainya, tapi kutarik kembali.
“Tunggu, masih ada satu hal!”
“Apa lagi sih?!” tanyanya kesal.
“Apa kau bisa menjamin Xirlex tidak akan menyakiti keluargaku saat aku pergi nanti. Tolong beri aku alasan yang kuat!” tuntutku.
Odish menarik nafas.
“Ya, dia tidak akan menyakiti mereka. Xirlex hanya tertarik pada leontin itu. Dan kau tahu, sebenarnya keberadaan leontin itulah juga yang membuat kaum kami bisa menggunakan sihir di duniamu ini. Sebelumnya, kami tidak pernah berani menembus batas karena kami tahu kami akan menjadi lemah. Dengan adanya leontin itu di duniamu, barulah kami memiliki kekuatan untuk sampai sejauh ini”
“Jadi maksudmu, dia tidak akan bisa menyakiti siapapun selama aku membawa leontin ini pergi bersamaku? Lalu sihirmu untuk menghapusku dari ingatan bagaimana bisa?”
Sekali lagi Odish mendengus kesal.
“Lama-lama aku jadi heran kenapa takdir memilih gadis cerewet sepertimu. Sihirku tidak akan hilang walaupun kau bawa leontin itu dari duniamu. Ingat aku kan ditakdirkan untuk jadi penunjuk jalan bagimu. Jadi bisa dibilang kita tidak akan berpisah sampai misi ini selesai. Berada di dekatmu akan membuat sihirku tetap bekerja. Lagi pula ikatan batin yang kalian miliki juga akan membantu. Semakin mereka mengingatmu, semakin kuat mereka juga akan melupakanmu”
“oh..”
Odish menggeleng tidak sabar. Lalu dia dengan cepatnya mencengkram pergelangan tanganku.
“Jangan bicara, pejamkan matamu!” Perintahnya.
Dan aku pun memejamkan mata. Sekali lagi aku merasakan kehangatan yang sama seperti saat di rumah sakit. Tapi kali ini kehangatan itu menerpa wajah dan seluruh tubuhku.
“Sekarang buka matamu”
Aku tercengang. Dalam hitungan detik ternyata Odish sudah membawaku ke apa yang disebutnya dunianya, Worlenia. Benar-benar tempat yang asing. Aku berdiri menghadap hamparan ilalang yang sangat luas. Angin membuat tetumbuhan itu bergoyang penuh misteri. Dan ketika ku menengadah langit, perasaan ngeri menghampiriku. Aku belum pernah melihat langit sekelam itu. Awan-awan hitam dan besar tergantung bergulung-gulung, seakan akan ada badai besar. Tapi bukan itu saja yang membuatnya terkesan kelam. Ada satu titik di langit itu, yang meskipun terhimpit awan-awan tebal, masih dapat kulihat dengan jelas. Cahaya yang tertutup lingkaran gelap.
“Gerhana?” tanyaku
“Ya, dan akan selalu begitu. Gerhana mathari total itu tidak akan hilang sampai sumber dari semua gelapan ini hancur. Karena itulah kami menunggumu, gadis matahari. Kau yang akan menyingkirkan gerhana itu”
Untuk pertama kali dalam hidup, harus kuakui baru kali ini aku merasa sangat penting. Di duniaku, kehadiranku seperti di tolak mentah-mentah, tapi di dunia antah berantah ini, malah aku sangat dinantikan. Menyadari itu, seketika ku rasakan seperti ada beban sepuluh ton menimpa pundakku. Apakah mereka tidak salah memilihku? Bagaimana kalau aku nanti sangat mengecewakan, dan kemungkinan untuk itu pastinya sangat besar. Aku belum pernah menggenggam pedang. Tapi aku berharap, aku tidak lagi akan jadi pecundang, tidak di dunia asing.