Minggu, 26 Februari 2012

Sinetron Indonesia; Romantisme dan hedonisme

Apakah anda tahu sinetron? Ha, jangan tersinggung apa lagi sampai melempar  laptop (lebay hai-hai). Saya sadar kok pertanyaan saya yang bermasalah, bukan tempramen anda, jadi saya ganti; Apakah anda suka nonton sinetron?. Kalau di wajah anda langsung terlintas wajah tegas Dude Herlino dan si manis Naysilla Mirdad, plus channel-channel yang jadi gudang penampungan sinetron, mungkin saja anda termasuk salah satu penggemar sinetron. Tapi kalau anda seperti saya, tidak pernah melirik jam menanti jam tayang sinetron kesayangan, lebih jelas lagi anda dan saya bukan penggemar sinetron.
Eitssss! jangan salah sangka dulu. Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menjudge penggemar sinetron loh...101% bukan. Menggemari apapun itu manusiawi, malah dalam ilmu psikologi dianjurkan untuk merelaksasi syaraf-syaraf yang setres karena rutinitas, termasuk nonton sinetron, apalagi kalau anda manusia normal yang demen menikmati keindahan yang disajikan lawan jenis; secara artis sinetron kan, mau cowok, mau cewek, bening semua..lah iya lah namanya juga artis..coba kalau sering-sering ke pasar jalan kaki! Lah kok jadi sewot.
Ok mari kembali ke permasalahan yang sebenarnya ingin saya angkat. Sebagai seseorang yang punya TV di rumah sendiri tapi harus sering juga nemenin umiq (baca: ibu) menunggu anggota keluarga yang lain pulang, mau tidak-mau saya ngelirik-ngelirik sinetron yang lagi tayang sambil seliweran ke sana kemari, maklum my mom's hobby is wacthing it gitoh. Tidak bisa dipungkiri, sinetron Indonesia memang sepertinya tidak bisa jauh dari  gaya hidup metropolitan..apa karena dibuatnya di Jakarta ya, kalo dibuat di Lombok mungkin jadi cidomo (baca: dokar)  politan he..he. Perhatikan saja penampilan para actress and actors in actionnya mereka tampak begitu kinclong, sepatu mengkilap, dress mehonk dan setelan khas kantoran gedongan. Keluar kantor atau bahkan seperti peran terbaru Nikita Willy dalam Yusra dan Yumna, keluar sekolah pake mobil mewah, wow ini buat anak-anak SMA pada ngiler. Turun dari mobil mewah mampir dulu ke resto, club, atau hotel berbintang setelah itu barulah pulang ke rumah yang tampak bak istana. Dampak signifikannya pada alur cerita jelas. Kisah cinta yang diangkatpun jadi kisah cinta berkelas, kelas menengah atas maksudnya. Si cewek bermobil dan bergadget
get dan si cowokpun tampan dan tajir..kurang apalagi. 
Okey kalau ada yang protes, masih ada kok peran cewek yang jadi orang miskin!. Tapi tetap saja kan cowoknya tajir dan ujung-ujungnya ceweknya pun ikutan tajir. Contohnya saja Amirandah dalam Kemilau Cinta Kamila, awalnya dari gadis miskin dengan pendidikan minim, berubah menjadi kalangan ningrat. Sayangnya, semua setting dan alur yang menampilkan segi kesederhanaan dalam sinetron itupun serta merta lenyap ketika si cewek berubah tajir..dan ini seperti memutuskan hubungan dengan sejarahnya ketika doleo masih kere.
Okey-okey kalau masih ada yang protes, ada kok sinetron yang cewek n cowoknya sama-sama kere. Ini hanya wajib bagi  sinteron agamis yang berbau betawi. Ya kita memang perlu apresiasi. Tapi seperti yang saya utarakan di atas, hedonisme masih menjadi ciri khas sinetron kita.
Jadi kesimpulannya? Ini seharusnya memunculkan sebuah  pertanyaan di benak kita. Apakah romantisme hanya milik yang sugiiih???? Entah apa yang ada di benak para sutradara dan produser kita, mereka seolah mengekang kreatfitas sendiri, menciptakan paradigma sempit yang malah parahnya disodorkan ke publik. Mereka seperti tidak pernah harus menambal ban saat di perjalanan, dan terinspirasi dengan adegan tukang tambal ban yang berpeluh-peluh lalu si emak datang membawakan segelas kopi, syukur kalau ada pisang gorengnya. Bukankah juga romantis kalau ada muda-mudi pacaran tapi pas kangen ga punya pulsa, Telkomsel dan Sule malah lebih cerdas membca konflik yang bisa muncul, seperti di iklan lebay kartu AS. Atau kalau mau makan, milih di warung aja karena dompet tipis, Kan IT'S NOT WHAT YOU EAT THE MATTER  BUT WITH WHOM YOU HAVE THE MEAL WITH!!!
Oh please deh, cinta diberikan Tuhan untuk semua insan, mau kaya, miskin, cakep, pas-pasan, normal, bahkan dengan kekurangan fisik,, semua bebas merasakan anugrah yang mengangkat martabat manusia lebih tinggi dari ciptaan lainnya. Dan saya tahu kali ini g bakal ada yang protes, kenyataan yang ada memang sebagain besar penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemisikinan. Tapi jumlah penduduk toh tetap bertambah, itu artinya cinta tetep eksis, orang miskin malah lebih produktif dalam berketurunan kan?.
Jadi memang ada yang salah di persinetronan kita. Kira-kira di tahun 2000 waktu saya masih SMP, Pak Guru saya pernah bilang orang Jepang heran sama tampilan sinetron hedonis kita, mereka bilang para aktivis sinteron seperti tidak ngeh dengan kondisi ekonomi yang lagi krisis, membuat orang menghayal dan ABG menuntut gaya hidup jep-ajepan. Hari ini, DUA BELAS TAHUN berlalu tapi nyatanya wajah sinteron kita masih begitu-begitu aja...inilah yang namanya kondisi tragis yang mengkristal. Tapi ini bisa berubah kalau publik, kita sebagai penonton juga kritis. Tidak hanya duduk tenang dan tenggelam dalam kisah-kisah kamuflatif sperti itu. Prinsip bisnis kan menyesuaikan selera pasar. Saya yakin kalau kita semua cerdas, selera pasar juga bisa berubah dan akibatnya tampilan sinetron juga bisa lebih bermutu dan real.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar