Pendahuluan
Ashmole,
Barnet, London
Jika suatu hari kau pernah
berpikir ingin mengubah hidupmu, menjadi lebih terasa nyata tapi kau
mendapatkannya di dunia yang begitu tidak nyata bagi sebagian besar orang, apa
yang akan kau lakukan?
Melepaskannya? Namun jika kau
harus menghadapinya karena keadaan memaksamu, di mana jika menghindar artinya
kau membahayakan orang-orang yang kau cinta… apakah kau sanggup menanggalkan
kepengecutanmu- melupakan dirimu yang selalu jadi pecundang di dunia mu,
kemudian menggenggam pedang dan berjuang mengalahkan kegelapan yang sebenarnya
tidak dapat kau mengerti kepentinganmu atasnya.
Bagaimanapun, aku sudah
memutuskan, walaupun dengan keraguan yang mengaliri nadiku. Aku melangkah
mendekati kematian, menyelamatkan dia
yang ditakdirkan untuk seseorang yang
kucinta. Seseorang yang tidak mungkin lagi kutemukan di duniaku seandainyapun
aku bisa kembali.
- Hari
yang buruk
“Oh
tidak! Aku pasti terlambat!” Aku terperanjat dari tempat tidurku yang hangat,
tidak mempercayai angka yang ditunjuk jarum jam weckerku yang berbunyi sangat
memekakkan. Aku bergegas mengambil handuk dan meluncur ke kamar mandi sambil
menggerutu dalam hati “Kenapa aku begitu bodoh! Seharusnya aku menyetting jam
itu tiga puluh menit lebih awal daripada biasanya!”. Untungnya aku bukanlah
tipe gadis yang memiliki standar waktu khusus di kamar mandi jadi mandi hanya
makan waktu beberapa menit untukku. Ritual selanjutnya tentu saja menyabet
pakaian yang sudah kusetrika rapi dari lemari tuaku lalu berdiri di depan cermin
– ini bagian tersulit. Wajahku yang kelewat putih terlihat pucat, emm ini
mungkin gara-gara aku tidur terlalu larut karena harus menyiapkan esaiku, tapi mungkin juga sudah takdir, aku memang
selalu terlihat seperti ini, setidaknya itu yang kuyakini. Sekarang aku harus
berjuang dengan sisir untuk merapikan rambutku yang sudah pasti tidak dapat
kuandalkan untuk ikut audisi model shampoo. Rambut sebahuku memang kelewat
subur bahkan bisa dibilang rimbun. Ikal dan liar, membuatku tidak pernah
berpikir untuk menggerainya bahkan jika aku ditawari uang 1000 Poundsterling.
Ha tidak akan pernah!. Setelah selesai dengan diriku, kini sasaranku adalah
tumpukan buku di atas meja belajarku. Dengan segera ku susun buku-buku tebal
itu dan tidak lupa pula lembaran-lembaran yang yang sepertinya menentukan
hidupku hari ini dan menjejalkan mereka ke dalam tas ransel super besarku.
Di
ruang makan sempit rumah kami, mom, sibuk meletakkan piring-piring sarapan .
Adikku, Lean menyantap roti isi itu dengan sangat perlahan. Dia memang super
lelet jika makan, sehingga kadang-kadang aku harus menggeprak meja atau rasanya
ingin memasang bom waktu di depan
piringnya!. Tanpa berpikir ku habiskan roti isi itu dengan tiga gigitan
besar-tindakan yang akan membuat Lean mati tersedak. Segelas susu di depan ku pun
habis dalam sekali tegukan. Mom memandangku dengan tatapan menegur.
“Bersikaplah seperti seorang gadis, Zara!”
mom akhirnya benar-benar menegurku.
“Maaf
hari ini aku harus cepat tiba di sekolah!” aku mencium pipi wanita yang sangat
kusayangi itu dan bergegas menuju pintu meninggalkan Lean yang masih duduk
tanpa ekspresi dengan roti yang belum habis separuh.
Berjalan
kaki itu sehat, dan itulah yang kulakukan setiap hari untuk ke sekolah. Jarak
rumahku dengan SMA Barnet hanya beberapa blok jadi aku tidak perlu naik bus
atau diantar van tua kami jika tidak terpaksa.
Koridor-koridor
menuju kelas Biologi dijejali para murid yang tampak teburu-buru. Mereka
berjalan cepat dengan membawa tas dan ditambah binder yang di dekap di dada.
Tentu saja bukan hanya aku yang merasa hari Senin itu menyiksa, harus tiba di
sekolah lebih awal dan menyetor tugas-tugas selama weekend – menyebalkan. Tapi
aku, tentu saja terlihat berbeda, jauh dari kesan akan hanya menghadapi hari
Senin, tapi lebih mirip akan menghadapi ujian thesis dengan memakai kostum yang
tidak tepat. Aku berani bertaruh, tidak ada murid perempuan yang membawa ransel
sebesar dan seberat milikku. Isinya bukan hanya buku pelajaran hari ini tapi
juga tumpukan buku yang dimakan otakku selama seminggu, dan harus ku kembalikan
ke perpustakaan sekolah dengan tentu saja meminjam beberapa buku lagi. Karena
itu, tidak ada yang heran jika kacamataku begitu tebal bahkan lebar, seperti
tersangkut di hidungku yang runcing.
Aku
baru saja melangkahkan kaki memasuki kelas tapi sudah menemukan pemandangan
yang membuat perutku mual dan merusak suasana hatiku yang memang sudah kurang
bersahabat sejak pagi. Aku benci harus menghadiri lima kelas yang sama dengan
mereka. Aku benci dengan sikap mereka yang sangat berbahagia harus berbagi
kelas denganku.
“Hey
gadis planet buku, apa weekend mu menyenangkan?” Daisy mulai lagi.
“Tentu
saja dia berkencan dengan buku-buku tololnya!” Seorang gadis jangkung lain
menimpali dan gerombolan itupun tertawa. Aku sebisa mungkin tidak mempedulikan
ucapan mereka yang nyata-nyata sebenarnya sangat menggangguku. Jika saja aku
bukan aku, pasti sudah kulempar wajah mereka dengan ranselku sehingga blush on
nya berubah jadi ungu. Tapi aku, tidak punya nyali bahkan untuk menatap mereka
sekalipun.
“Oh
ya, hari ini aka ada pertunjukkan lucu”
“Apa?”
“Masa
kau lupa, si nona jadul akan presentasi”
Dug.
Perutku benar-benar terasa melilit. Aku harus siap menghadapi segala tingkah
laku mereka selama penampilanku nanti. Tentu saja aku siap- setidaknya itu yang
aku inginkan.
“Aw!”
Ada sesuatu mengenai bahuku. Seseorang melemparku dengan bola kertas. Aku
menoleh, sebagai reaksi spontan karena jika berpikir lebih jauh seharusnya
tidak perlu kulakukan.
“Berikan
pertunjukkan badut..Oke!” Ben nyengir dengan sangat menyebalkan dan gerombolan
itupun kembali terpingkal-pingkal. Tapi semuanya tiba-tiba senyap, beberapa
murid yang tadinya duduk di meja atau di kursi dengan kaki terlentang di meja
seketika jadi sangat mengerti cara duduk yang sopan dan ingat letak kursi
masing-masing. Mr.Tim tampak rapi dan segar seperti biasa. Rambutnya yang
berkilau hitam menempel kaku pada keningnya yang meninggi.
Kami
pun dapat merasakan aroma parfum aneh yang
menyengat. Pria berusia 40an itu
berjalan lurus, seolah tidak memperhatikan sikap para murid yang spontan
berubah saat dia masuk. Dia meletakkan tasnya yang berbentuk koper di atas meja
dan mengeluarkan sebuah notebook.
“Selamat
pagi” Nada Mr. Tim dingin.
“Pagi
Sir” Satu dua orang membalas.
Mr.
Tim mengerutkan kening dan kembali ke meja lalu mengutak-atik laptopnya. Hah
seandainya saja, ya..aku sering menghayalkan seandainya saja guru Biologi ini
seperti Mr. Molina guru Biologi di film Twilight. Penuh semangat dan punya
teknik mengajar yang menantang tapi menyenangkan. Twilight, salah satu dari
sedikit bukti bahwa aku masih remaja normal yang tidak hanya bergulat dengan
buku. Aku masih menyukai ketiga seri film itu, sangat malah. Aku menontonnya
berulang-ulang tanpa bosan. Mungkin karena terlalu suka, makanya aku membandingkan
Mr. Tim dengan Mr. Molina. Aku jadi ingat saat pertama kali Edward bicara pada
Bella di kelas Biologi. Mr. Molina menyediakan bawang raksasa emas untuk
pasangan tercepat yang bisa mengidentifikasi lapisan-lapisan bawang yang disediakan. Semua siswa jadi
bersemangat tapi Bella dan si vampir
tampan tetap jadi yang nomor satu. Sedangkan Mr. Molina, huh dia begitu dingin
dan sulit sekali menemukan semangat untuk benar-benar membuat kami paham atau
setidaknya bisa lupa bahwa ini kelas Biologi yang penuh dengan mikroskop, air
raksa, atau setoples katak mati. Tidak ada yang benar-benar ingin menatap
matanya jika tidak harus.
“Hari
ini giliran Mr. Morrey dan Ms. Sadler untuk presentasi” Mr. Tim berdiri tegak
dengan dagu sedikit terangkat setelah yakin telah dengan sangat teliti mengecek daftar-daftar itu dari notebook nya.
Ada gumpalan yang sepertinya baru saja tertelan ketika kudengar nama belakangku
disebut.
“Mr.
Morrey, silahkan”
Jim
Morrey, tidak ada yang tidak mengenal dia. Tubuhnya yang atletis seperti simbol
bahwa dia pantas jadi kapten tim basket. Wajahnya? tidak ada gadis yang
meragukan itu. Putih, dengan rahang kokoh serta sepasang mata biru yang
memikat. Aku juga mengaguminya, sangat. Ini juga membuktikan aku masih bisa
dibilang remaja normal. Jim tampak santai.
“Selamat
pagi semua” Senyumnya merekah, memamerkan gigi-giginya yang putih. Kulihat
beberapa gadis berbisik-bisik.
“Topik
saya kali ini adalah…..”Aku menahan nafas. Bagaimana bisa dia melakukannya
sesempurna itu. Penjelasannya mengalir seperti peluru, penuh kepastian. Di
beberapa sesi dia menampilkan gambar tentang …diikuti beberapa instruksi dan
pertanyaan. Aku merasakan kursiku tidak nyaman lagi. Jantungku berdebar lebih
kencang dan jari-jariku seperti bergerak sendiri meremas-remas tangan satu dan
yang lainnya. Tepuk tangan riuh menandakan suksesnya presentasi Jim. “Tenang,
kau pasti bisa melakukannya” aku berbisik dalam hati. Mr. Tim melorotkan
kacamatanya dan menatapku.
“Ms.
Sadler?”
Aku
seperti terkena setrum, tersengat dan langsung berdiri.
“Ya,
tentu Sir” kurasakan jantungku seperti berlari saat aku melangkah menuju meja
di depan kelas. Nafasku juga mulai keluar masuk seenaknya.
“Selamat
pagi semua” akhirnya itu terucap juga.
“Topik
saya kali ini adalah ………………………………..” ku sadari wajah-wajah itu begitu fokus
padaku, dan gerombolan Daisy mulai memperlihatkan sikap mengusik. Aku benci
jadi pusat perhatian dan ini membuat semuanya jadi menegangkan bagiku.
“Akan
saya awali dengan penjelasan tentang masing-masing proses perubahan tersebut. Yang
pertama , evaporasi. Untuk ini saya memiliki sebuah bagan. “ Aku menarik nafas panjang kemudian menatap tumpukan kecil
kertas-kertas yang sudah kupersiapkan. Ku periksa tiap lembaran itu mencari
bagan yang kumaksud, tapi betapa paniknya aku ketika tidak kutemukan lembaran
yang ku cari. Tanganku mulai basah. Apa iya aku meninggalkannya di rumah karena
terburu-buru. Tidak mungkin, aku yakin sudah menatanya sejak semalam sehingga
tata letaknyapun sudah beraturan dan tidak akan meninggalkan masalah jika aku
mengambilnya terburu-burupun. Mataku tiba-tiba terasa panas dan tanganku tidak
hanya dingin tapi juga mulai gemetar. Ku ambil sebuah lembaran tanpa garis
dengan hanya bercoretkan satu kata dengan tinta merah berhuruf kapital: “LOSER!”.
Siapa yang melakukan ini. Seseorang menukar satu lembaranku dengan selembar
sampah ini. Dari sudut mataku kutangkap gerombolan itu mulai cekikan. Akhrinya
aku ingat, sebelum sampai di tempat duduk tadi, kakiku terantuk meja dan
lembaran-lembaran di tanganku jatuh dan berserakan tertiup angin dari baling-baling yang menempel
di langit-langit kelas, tepat di atas kepalaku. Aku memunguti lembaran-lembaran
itu dan tiba-tiba saja Jim menghampiriku dengan senyum yang pasti membuat gadis
manapun terpaku dan lupa sepatunya masih memijak lantai.
“Ini
lembaranmu tercecer” senyum manis itu kini terkenang sangat menjijikkan di
otakku. Bagaimana bisa Jim melakukan ini, setahuku dia tidak pernah
memperolokku seperti yang lainnya, walaupun aku tidak bisa menjamin dia
memiliki pemikiran berbeda tentangku.
“Ada
masalah Ms. Sadler?” Suara Mr. Tim tenang tapi terdengar seperti kilat yang
menyambarku. Dan spontan lembaran-lembaran presentasi itu terlepas dan jatuh ke
lantai. Aku menunduk dan kudapati keringatku menetes. Aku tidak pernah berharap
menjadi tuli, tapi untuk sedetik saja, lebih baik aku menjadi tuli daripada
harus mendengar tawa-tawa yang tertahan itu. Aku berdiri lagi, dan kini, aku
hanya ingin menatap satu orang. Jim tersenyum padaku. Tapi kali ini senyumnya
sama sekali tidak manis, melainkan seperti senyum puas dan menantang. Bagiku
itu seperti berkata “Apa yang akan kau lakukan?”. Pertanyaan itu memang
membombardir otakku. Sebenarnya tanpa bagan itupun aku masih bisa menggambarnya
dengan spidol di whiteboard karena itu sudah di luar kepalaku. Tapi masalahnya
pelakunya adalah Jim, sosok yang selalu membuatku berdebar bahkan jika hanya
berpapasan di lorong sekolah. Aku frustasi.
“Ms.
Sadler, kami tidak hanya ada di sini untuk menunggumu?” Ada geraman dalam suara
Mr. Tim. Dengan aliran darah yang masih kurasa deras dalam otak dan wajahku,
ucapan itu terlontar begitu saja.
“Maaf,
saya tidak bisa melanjutkan. Beberapa paper saya tertinggal di rumah”
“Huuuuuuuh!”
Kini suara cemoohan itu begitu bergemuruh, mereka tidak terbendung lagi untuk
mengekspresikan kepuasan atas
ketololanku.
“Ini
mengecewakan, kau tahu Ms. Sadler, tidak ada kesempatan kedua untuk ini. Dan
itu artinya kau harus berjuang keras di ujian semester nanti.” Ucapan Mr. Tim
datar tapi seperti sayatan pisau dihatiku. Aku menelan ludah.
“Ya,
saya tahu. Maafkan saya”.
Selanjutnya
aku hanya duduk terpaku tanpa bisa mencerna satupun penjelasan Mr. Tim tentang
materi selanjutnya. Aku masih tidak habis pikir, kenapa harus Jim. Bel berdering
dan semua orang beranjak meninggalkan ruang kelas. Gerombolan itu dan diikuti
Jim di belakang mereka melewatiku. Jim mengetukkan jarinya di mejaku. Tatapannya
penuh pesona menyakitkan. Kelas itu kini
sepi. Hanya aku yang masih belum bisa beranjak.
“Zara!
Kau di sini? Aku mencarimu sejak tadi. Ada yang perlu kuceritakan” suara Lucie,
seperti lonceng, selalu gemerincing, ceria dan penuh semangat. Tubuh mungilnya menubrukku. Aku hanya tersenyum tipis, tapi
rupanya sahabatku itu bisa menangkap sinyal ketidakberesan dalam sunggingan senyumku.
“Kau
ini kenapa? Kelihatanya ada masalah” Mata coklatnya penuh kecurigaan. Dan aku
tahu aku tidak akan pernah bisa berbohong pada Lucie. Kami sudah seperti
saudara, walaupun aku tidak berani menyebutnya kembaranku. Karena dia jauh
lebih sempurna secara fisik. Sejak kecil kami tumbuh bersama, rumah kamipun
bersebelahan sehingga dulu kami sering menghabiskan waktu bermain Barbie.
“Ini”
Aku menyodorkan kertas bertuliskan kata menyakitkan itu.
“Seseorang
menukar lembaran presentasiku dengan kertas konyol itu. Dan yang lebih
konyolnya lagi, walaupun sebenarnya itu tidak terlalu masalah buatku, aku tidak
bisa melanjutkan presentasiku”. Paparku.
“Keterlaluan.
Kali ini mereka sudah sangat keterlaluan. Siapa yang melakukannya?” Lucie
meremas kertas itu. Aku bisa merasakan emosinya yang meluap.
“Jim”
jawabku singkat.
Prok!
Kepalan tangannya kini menghantam meja.
“Jim?
Si flamboyan tolol itu!” hatiku tersentak melihat reaksi Lucie. Dia memang
sudah muak dengan perilaku gerombolan Daisy, tapi dengan Jim, kurasa dia sama
tidak percayanya denganku. Apalagi beberapa bulan lalu, Jim pernah mencoba
mendekati Lucie dan mengajaknya berkencan. Tapi tentu saja Lucie yang anti
dengan cowok playboy menolaknya mentah-mentah. Apa itu juga yang
melatarbelakangi tindakan Jim padaku. Aku mulai berspekulasi.
“Dan
kau diam saja?kenapa tidak kau tunjukkan bukti otentik ini pada Mr. Tim? Kau
kasihan padanya? Atau kau masih menaruh perasaan konyol seperti gadis-gadis
bodoh lain?!”
“Aku
tidak bisa” Sulit sekali menjelaskan perasaanku tentang yang kualami tadi,
walaupun intinya apa yang dikatakan Lucie benar.
“Ayo
kita selesaikan!” Tiba-tiba Lucie berdiri dengan masih meremas lembaran itu. Tangan
yang satunya dengan kasar menyeretku.
“Apa
yang kau lakukan? Kita mau ke mana?!!”
“Biar aku yang selesaikan!”
Dan
semua jelas bagiku ketika kami sampai di kafetaria. Mata Lucie menyapu ruang
penuh siswa itu. Kemudian dengan langkah pasti dan masih dikuasai emosi dia
menuju satu meja. Di sana, Jim duduk santai dengan sekaleng soda bersama beberapa
siswa lain. Tanpa menunggu satu-dua-tiga, Lucie melemparkan kertas yang sudah
berbentuk bola itu tepat ke wajah Jim. Jantungku seakan meloncat melihat
tindakannya. Belum pernah Lucie senekat itu.
“Apa-apa’an kau?!” Jim langsung bangkit dengan wajah garang.
“LOOSER
itu lebih cocok untukmu. Sebuah tindakan yang memalukan!”
“Oh
ini?” Jim membuka gumpalan kertas itu. Dia menatapku dengan pandangan sangat
menghina, dan aku merasa jatuh tenggelam dalam lautan gelap dan tidak bisa bernafas.
“Kau
mengadu pada peri cantikmu?”
“Bukan..begitu
maksudku, sudah lupakan saja. Ayo kita pergi, Lucie” Aku menarik lengan Lucie, tapi si keras kepala itu
tidak bergeming.
“Ini
cara terbodoh untuk membalas penolakanku atas ajakan kencan menjijikanmu!” Alis
Lucie terangkat dan emosinya benar-benar tidak terbendung. Tiba-tiba si pirang
Daisy datang, mengalungkan lengannya ke leher Jim.
“Apa
kita ada masalah dengan dua makhluk aneh ini, sayang?” dengan nakal bibirnya menyapu rahang hingga ke pipi Jim
lalu menatap jijik pada kami.
“Lucie
merasa dirinya terlalu penting, itu saja” Ada cekekehan melecehkan dalam nada
bicara Jim, dan tangannya terangkat menggapai kepala daisy kemudian mendekatkan
wajah gadis itu ke pipinya. Perutku melilit melihat aksi mesra-mesra’an mereka.
Dan Lucie pun sepertinya terpaku, mematung. Dia sama terkejutnya dengan aku.
“Kau
akan membayar semua ini” Tatapan Lucie setajam elang, dia seperti menggertakan
gigi.
“Kesempatanmu
sudah hilang” Wajah Daisy penuh kemenangan. “Dia milikku sekarang”.
“Aku
beruntung melemparnya ke sampah sepertimu”
Seketika
tubuh Daisy menegang dan tangannya hendak menggapai Lucie, tapi Jim dengan
sigap mencegahnya.
Awas
kau …”
Kini
Lucie seperti melupakan aku, langkahnya cepat. Dia berbalik meninggalkan
cafeteria. Aku sampai harus berlari kecil megikutinya, seperti sedikit usaha
untuk mengingatkan kalau dia berjalan denganku.
Ketika
kelas terakhir berakhir , aku pulang bersama Lucie. Sepanjang perjalanan, tidak
satu patah katapun terucap dari mulut Lucie. Kami berjalan dalam kesunyian di
tengah-tengah suara klakson mobil. Aku tahu, percuma membuat Lucie bicara jika
dia sedang tidak ingin, itu sama saja dengan mengaktifkan bom waktu dan
meledakkan seluruh kota. Lebih baik aku menunggu, aku tahu Lucie tidak bisa
menyembunyikan apapun dariku, setidaknya tidak dalam waktu terlalu lama. Dia
pasti bicara.
“Sampai
besok” Lucie tersenyum singkat ketika kami sudah berada di depan gerbang
rumahnya.
“Ya,
sampai besok. Ee..terimakasih sudah membelaku” Kataku hati-hati.
“Sudahlah,
itu tidak penting” Dia berusaha tidak menatapku. Aku meneruskan langkah ke
rumah di sebelah rumah Lucie, rumahku sendiri.
“Ini
hari yang buruk” gumamku.
Aku
berharap bisa langsung tidur sebelum menyelesaikan tugas-tugasku hari ini.
Ya..semacam mencari cara melupakan kejadian tadi, meredam hatiku yang masih
berkecamuk. Tapi, baru saja hendak menuju kamarku, ku dapati mom sedang duduk
menonton TV atau tepatnya terpaku di depan TV yang tombol mute nya aktif.
Sepasang mata sayunya merekah ketika melihatku, diapun seketika bangkit dari
sofa.
“Ah,
Zara, syukurlah kau pulang”
“Apa
ada yang tidak beres?” Aku tidak bisa menutupi insting kecurigaanku karena ku
rasa mom sengaja menungguku. Wanita paruh baya yang ku kenal sangat bijaksana
itu menarik nafas.
“Ya,
ini tentang adikmu. Sepulang sekolah dia langsung membanting pintu kamarnya.
Aku sudah berusaha mengetok, tapi Lean tetap tidak mau membuka pintu.
Oh..sayang aku khawatir sekali. Mungkin dia mau bicara denganmu” papar mom
penuh kekhwatiran. Aku merengutkan alis, ada apalagi ini? Bukannya tadi aku
sudah cukup mendapati hari yang menjengkelkan, sekarang harus mengurusi Lean.
Bukannya aku tidak peduli padanya, tapi suasana hatiku saat ini saja masih
belum bisa kuatasi. Namun aku seperti biasa, tidak sanggup melihat mom dirundung
gelisah dan kesedihan seperti itu. Sejauh ini dia sudah memberikan yang terbaik
bagi kami.
“Ya,
akan ku coba” Aku mengetok pintu kamar Lean yang terkunci rapat.
“Lean,
kau kenapa? Biarkan aku masuk, mungkin kau bisa ceritakan semuanya. Atau jika
kau tidak mau cerita, kita bisa keluar dan merental film”
Tidak
ada tanda-tanda Lean akan membuka pintu.
“Baiklah,
maafkan aku. Aku lupa sekarang kau sudah besar, tidak mempan dibujuk-bujuk
seperti itu. Tapi itu juga tandanya, kau harus lebih sensitif terhadap perasaan
anggota keluarga yang lain. Tidakkah kau kasihan pada mom, dia sangat
khawatir.”
Tetap
tidak ada reaksi.
“Ok
kalau begitu kusimpulkan bahwa kau masih anak manja. Ingat Lean, Dad sudah
pergi, dan kita hanya punya mom, dan sekarang kau menyakitinya seperti ini”
Kurasakan mom menepuk pundakku,seolah mengisyaratkan agar aku tidak perlu
terlalu begitu.
“Krek”
akhirnya pintunya terbuka.
“Hanya
kau yang boleh masuk” Suara Lean berat dan jelas sekali matanya sembam. Hidungnya
pun tampak kemerahan. Kami duduk di atas tempat tidurnya yang sempit. ku
biarkan dia bisa menguasai dirinya dulu.
“Apa
kau mau cerita?”
Lean
sedikit terisak.
“Aku
ingat Dad” Jawaban singkatnya seperti mengoyak jantungku. Lean yang masih
begitu belia, dia belum sepenuhnya bisa merelakan kepergian Dad.
“Di
sekolah, Ms. Sprout, kau tahu, guru Bahasa Inggrisku yang tua dan galak itu…Dia
menyuruh kami membuat essay sederhana tentang peran seorang ayah dan seberapa
besar peranan itu bisa mempengaruhi kehidupan anak-anaknya” Sambung Lean.
“Dan
kau rasa itu begitu berat?” aku menatap dalam wajah adik semata wayangku itu.
Dia mengangguk.
“Ya
aku mengerti. Kau ingat ketika Dad memberimu hadiah piala saat ulang tahunmu
yang ke sepuluh?”
Lean
menatap piala besar di meja belajarnya, sebuah senyum tersungging.
“Dad
memberimu itu karena dia ingin kau selalu jadi juara atau setidaknya jadi
pemenang untuk dirimu sendiri. Dia ingin kau tumbuh jadi anak gadis yang hebat,
yang bisa tegar menghadapi dunia. Dad pasti sangat bangga jika hari Senin nanti
kau datang dengan essay yang tebal dan membuat wajah Ms. Sprout menjadi semakin
keriput karena harus memeriksa berlembar-lembar essaymu” Perkataanku mengalir
begitu saja. Aku tidak mengerti kenapa aku bisa menjadi begitu “kakak” untuk
Lean, nasehat itu terlontar begitu saja padahal aku sendiri masih
membutuhkannya. Ku sadari Lean mencerna omonganku, tapi dia masih diam.
“Jadi
apa kau perlu bantuan untuk mengerjakannya?”
Tiba-tiba
wajah Lean terangkat dan menghadapku.
“Tentu
saja tidak. Aku pasti bisa” senyumnya mengembang dan aku tahu ini pertanda
masalah selesai.
“Baguslah,
aku tahu kau hebat. Walaupun sering menyebalkan” Aku mengacak-acak rambut
kemerahnnya yang sudah kusut.
“Ih
kau ini, aku tidak suka kau melakukannya” Lean menyingkirkan tanganku dari
kepalanya. Aku beranjak menuju pintu.
“Dan
jangan kau tutup lagi pintu ini, ku rasa mom ingin masuk dan menagih permintaan
maaf”
Lean
cengir mendengarkan ucapanku. Dari matanya ku lihat sepertinya dia ingin
berterimakasih. Mom masih mematung di luar kamar, kali ini dia berdiri.
“Sudah,
dia baik-baik saja. Hanya ingat pada Dad”
“Terimakasih
sayang, aku benar-benar bisa mengandalkanmu” Mom memegang tanganku lalu
meluncur ke pintu kamar Lean. Gerakan mom cepat, tapi mataku masih bisa
menangkap dia mengusap air matanya ketika berjalan.
Aku
melempar tasku ke tempat tidur. Baru kali ini aku rasakan kamarku terletak
begitu jauh. Aku seperti harus menempuh ribuan kilometer dengan waktu yang
sangat melelahkan untuk bisa merebahkan tubuhku ke kasur empuk ini. Posisiku
terlentang dan pandanganku mengarah pada bulan dan bintang di langit-langit
kamarku. Aku ingat, dulu Dad lah yang membantuku menempelkan kertas hias itu.
Aku begitu lelah, dan tanpa terasa rasa dingin mengaliri pipiku.
Ku
usap air mataku yang mengalir begitu saja. Di langit-langit itu, wajah Dad
seperti terukir jelas, tersenyum lebar ke arahku. Aku tahu semuanya akan berat
setelah Dad tidak ada, tapi sungguh tidak kusangka akan seberat ini. Perpisahan
kami pun begitu tidak di sangka-sangka. Kecelakaan maut, itu jawabannya.
Pikiranku
semakin berat mengingat kejadian di sekolah tadi. Aku mengerti Lucie sayang
padaku sehingga dia tidak suka Jim berbuat begitu. Tapi, aku menangkap
kejanggalan pada sikapnya yang pada awalnya begitu berapi-api namun tiba-tiba
beku ketika mendapati fakta bahwa kini Jim bersama Daisy. Apa Lucie sebenarnya
menaruh simpati pada Jim tapi dia berpikir terlalu rasional untuk memacari
seorang yang begitu populer. Aku harap dia akan bicara, setidaknya itu akan
melegakannya.
Dan
mengenai diriku. Aku benar-benar si pecundang. Dad pasti malu jika melihat aku
seperti ini – selalu jadi bahan ejekan. Oh Tuhan, apa semua gadis tidak cantik
selalu bernasib sama? Tapi tentu saja jawabannya tidak. Ivy, temanku yang
berkulit gelap dan gendut, terlihat begitu menikmati hidupnya dan semua
menyukainya. Tapi aku, kenapa aku tidak punya keberanian untuk membela diri.
Padahal aku tahu, aku jauh lebih pintar daripada mereka, setidaknya untuk
ukuran nilai ujian dan tugas-tugasku. Tapi semua yang kulakukan selalu jadi
bahan lelucon. Aku ingin melepaskan diri dari diriku sendiri. Seandainya aku
punya banyak uang aku tidak akan memilih tinggal di Barnet, tidak setelah Dad
pergi seperti ini. Aku bahkan ingin pergi ke dunia yang benar-benar berbeda, selain surga tentunya,
aku belum siap untuk itu. Maksudku, aku ingin mendapati diriku berada di tempat
di mana aku benar-benar dibutuhkan, benar-benar dinantikan, seandainya saja.
Khayalanku yang semakin melantur malah membuat mataku kian berat. Tubuhku
terasa tidak berdaya melawan kantuk yang sangat hebat. Aku tahu aku pasti
melewatkan makan malam dan bersiap mendengar gerutuan mom besok pagi, tapi
kakiku rasanya lumpuh untuk beranjak.
“Zara
…Zara datanglah, ku mohon…” Suara itu begitu lembut, suara ternyaring seperti
gemericik air. Aku juga belum pernah melihat gadis secantik sosok itu. Rambut
pirangnya yang bergelombang lembut menjuntai panjang, menyapu lantai tempat dia
berlutut. Mata hijaunya seperti batu Esmeralda yang menyimpan emosi rahasia,
dan memikat siapapun untuk mendekat.
“Tolong
aku…ku mohon” gadis itu mengulurkan tangan ke arahku. Aku mematung di sudut
ruangan sunyi itu. Aku ingin melangkah menggapainya, tapi dia seperti terperangkap dalam selubung
cahaya berkilauan. Kakiku terasa kaku untuk melangkah, akupun hanya mengulurkan
tangan.
Aku
tersentak dari mimpi aneh itu dengan keringat dingin membasahi dahiku. Paras
wajah si gadis begitu melekat dalam otakku. Mimpi itu terasa begitu nyata. Dan
aku merasa, sepertinya dia benar-benar menungguku. Butuh beberapa menit untukku
menepis perasaan aneh yang menyelimutiku.
“Cuma
mimpi” gumamku meyakinkan diri. Sesuatu yang agak berat terasa menutupi kakiku.
Mom pasti tadinya hendak memanggilku untuk makan malam, tapi malah mendapatiku
tertidur pulas lalu meyelimutiku. Mom memang selalu jadi yang terbaik. Dan aku
hampir menangis jika memikirkan beban yang harus ditanggungnya.
“Shrek!!”
tiba-tiba angin menghempas jendelaku, membuatnya terbuka lebar. Ku tengok jam,
ternyata sudah hampir tengah malam. Kenapa aku bisa ketiduran begini. Dengan
langkah terseret dan mulut yang menguap kudekati jendela itu. Tirai bercorak
bunga-bungaan musim panas menyapu wajahku.
Sesuatu menarik perhatianku. Kuusap mataku keras-keras, tapi sosok itu
masih di sana. Aku kembali menggosok-gosok mataku dan memicingkannya agar aku
bisa percaya apa yang benar-benar aku lihat. Di seberang jalan, di bawah pohon
tua itu, seperti ada sosok pemuda yang beridiri. Dia tidak hanya berdiri, tapi
mematung dan pandangannya tepat ke arahku. Lampu-lampu jalan dan cahaya bulan
cukup terang sehingga aku yakin tidak pernah mengenal atau bahkan melihat sosok
itu sebelumnya. Tapi satu yang kuyakini, dia menatapku tajam. Bulu romaku
berjinjit seperti akan lepas dari tubuhku. Tanpa berpikir lagi, ku tarik
jendela itu dengan keras. Aku ketakutan.
Tapi
ketakutanku tidaklah lebih besar dari rasa penasaran yang seperti
menggedor-gedor benakku. “Siapa dia?”. Dan perlahan-lahan jemariku kembali
merengkuh jendela itu dan membukanya sedikit, cukup untukku mengintip, apakah
pemuda itu masih di sana. Perasaan lega menyergapku. Sosok itu tidak ada lagi
di sana. Apa barusan aku bermimpi sambil berdiri ya, aku mulai mempertanyakan
kewarasanku.